Monday 21 March 2016

Melacak Sejarah Walisongo Dari Dokumen-Dokumen Kuno Terpercaya

Muslimdaily.net – Sejarah masuknya Islam di Indonesia sungguh penuh dengan carut-marut karena sejak dahulu bangsa Indonesia memang lemah dalam sistem dokumentasi. Akibatnya, sejarah Indonesia sebelum datangnya bangsa Belanda selalu ada beberapa versi karena selalu ada distorsi dari pelaku sejarah maupun dari masyarakat yang meneruskan cerita tersebut kepada generasi berikutnya.
Sungguh suatu hal sangat memprihatinkan, bahwa sejarah lahirnya Islam di Jazirah Arabia yang terjadi pada abad ke-7 Masehi dan lahirnya Muhammad Shallallahu’alaihi wa Sallam [581 M], wafat [632 M] dan penggantinya Abu Bakar [632-634 M], Umar Bin Khotob [634-644 M], Usman Bin Affan [644-656 M], Ali Bin Abi Thalib [656-661 M] serta perkembangan Islam selanjutnya dapat terdokumentasi secara jelas. Namun sejarah masuknya Islam di Indonesia yang terjadi 7 abad setelahnya, justru tidak terdokumentasi secara pasti. Barangkali karena alasan itulah maka sejarah tentang walisongo juga penuh dengan carut-marut.
Kisah-kisah individu walisongo penuh dengan nuansa mistik, bahkan tidak hanya nuansa mistik yang menyelimuti kisah walisongo tetapi juga penuh dengan berita-berita bohong. Mistik dan bohong adalah dua hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, tetapi mengapa keduanya justru menjadi warna utama kisah para wali yang telah berjasa besar dalam menyebarkan ajaran Islam di Indonesia?
Sebagai umat Islam tentu saja kita harus mengembangkan metode berpikir dialektis untuk mengambil hikmah yang sesungguhnya dan meluruskan sejarah yang sebenarnya berdasarkan sumber yang benar.
Berikut adalah dokumen-dokumen yang dipastikan kebenarannya sehubungan dengan kisah-kisah Walisongo;
1. “Het book van Bonang”, buku ini ada di perpustakaan Leiden-Belanda, yang menjadi salah satu dokumen langka dari Zaman Walisongo. Kalau tidak dibawa Belanda, mungkin dokumen yang amat penting itu sudah lenyap. Buku ini ditulis oleh Sunan Bonang pada abad 15 yang berisi tentang ajaran-ajaran Islam. (Baca: Diskusi Para Wali Songo Dalam Buku ‘Het Book Van Bonang’ )
2. “Suluk Linglung”, buku karya Sunan Kalijogo. Buku ini berbeda dengan buku ‘Suluk Linglung’ karya Imam Anom yang banyak beredar.
3. “Kropak Farara, buku yang amat penting tentang walisongo ini diterjemahkan oleh Prof. Dr. GJW Drewes ke dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan oleh Wahyudi ke dalam bahasa Indonesia. (Baca:Wejangan Agama Dari Era Sekitar Wali Jawa)
4. “Kitab Walisana”, kitab yang disusun oleh Sunan Giri ini berisi tentang ajaran Islam dan beberapa peristiwa penting dalam perkembangan masuknya agama Islam di tanah Jawa.
Istilah walisongo memang masih kontroversial dan tidak ada dokumen yang dapat dijadikan rujukan untuk menentukan mana yang benar. Istilah walisongo adalah nama sebuah dewan yang beranggotakan 9 orang [A. Wahyudi dan Abu Khalid; Widji Saksono,1995].
Anggota walisongo merupakan orang-orang pilihan dan oleh karena itu oleh orang jawa dinamakan wali. Istilah wali berasal dari bahasa Arab aulia, yang artinya orang yang dekat dengan Allah SWT karena ketakwaannya. Sedangkan istilah songo merujuk kepada penyebaran agama Islam ke segala penjuru. Orang Jawa mengenal istilah kiblat papat limo pancer untuk menggambarkan segala penjuru, yaitu utara-timur-selatan-barat disebut kiblat papat dan empat arah diantaranya ditambah pusat disebut limo pancer.
Dalam kitab Kanzul Ulum karya IBNU BATHUTHAH yang masih tersimpan di perpustakaan istana Kasultanan Ottoman di Istanbul, pembentukan Walisongo ternyata pertama kali dilakukan oleh Sultan Turki, MUHAMMAD I yang menerima laporan dari para saudagar Gujarat {India} bahwa di pulau Jawa jumlah pemeluk agama Islam masih sangat sedikit. Berdasarkan laporan tersebut Sultan MUHAMMAD I membentuk sebuah tim yang beranggotakan 9 orang, yaitu:
1. MAULANA MALIK IBRAHIM, berasal dari Turki, ahli irigasi dan tata pemerintahan;
2. MAULANA ISHAQ, berasal dari Samarkan ahli pengobatan;
3. MAULANA AHMAD JUMADIL KUBRO, berasal dari Mesir;
4. MAULAN MUHAMMAD AL MAGHROBI, berasal dari Maroko;
5. MAULANA MALIK ISRO’IL, berasal dari Turki, ahli tata pemerintahan;
6. MAULANA MUHAMMAD ALI AKBAR, berasal dari Iran, ahli pengobatan;
7. MAULANA HASANUDDIN, dari Palestina;
8. MAULANA ALIYUDDIN, dari Palestina;
9. SYEIKH SUBAKIR, dari Iran, ahli kemasyarakatan;
Inilah walisongo angkatan pertama yang datang ke pulau Jawa pada saat yang tepat, karena Majapahit sendiri pada saat itu sedang dilanda perang saudara, yaitu perang Paregreg, sehingga kedatangan mereka tidak begitu mendapat perhatian. Perlu diketahui bahwa tim pertama tersebut bukanlah para ahli agama atau bisa dikatakan bahwa mereka belum mempunyai ilmu agama yang mumpuni. Sultan Muhammad I tidak pernah menyebut tim tersebut dengan nama walisongo. Barangkali istilah walisongo berasal dari masyarakat atau dari tim itu sendiri setelah bekerja beberapa puluh tahun. Adapula kemungkinan bahwa istilah walisongo muncul setelah wali pribumi dari kalangan bangsawan yang masuk ke dalam tim.
Karena Maulana Malik Ibrahim sebagai ketua walisongo wafat pada tahun 1419 M, maka pada tahun 1421 M dikirim seorang penyebar Islam baru yang bernama AHMAD ALI RAHMATULLAH dari Champa yang juga keponakan MAULANA ISHAK. Beliau adalah anak IBRAHIM ASMARAKANDI yang menjadi menantu Sultan Campha. Pemilihan Ahmad Ali Rahmatullah yang nantinya sering dipanggil RADEN RAHMAT adalah keputusan yang sangat tepat, karena Raden Rahmat dianggap mempunyai kelebihan [ilmu agama yang lebih dalam] dan putra Mahkota kerajaan Majapahit pada saat itu menikah dengan bibi Raden Rahmat. Oleh karena itu dengan Raden Rahmat menjadi ketua, walisongo berharap agar Prabu Kerta Wijaya dapat masuk Islam, atau setidak-tidaknya tidak menghalangi penyebarah Islam. Dialog antara Raden Rahmat yang mengajak Prabu Kerta Wijaya masuk Islam tertulis dalam Kitab Walisana dengan langgam Sinom pupuh IV bait 9-11 dan bait 12-14.
Karena masih kerabat istana, maka Raden Rahmat diberi daerah Ampeldento oleh Raja Majapahit yang kemudian dijadikan markas untuk mendirikan pesantren. Selanjutnya Raden Rahmat dikenal dengan nama SUNAN AMPEL. Menurut Widji Saksono [1995:23-24], kedatangan Raden Rahmat di pulau Jawa disertai dua pemuda bangsawan Champha yaitu Raden SANTRI ALI dan ALIM ABU HURAIRAH serta 40 orang pengawal. Selanjutnya Raden Santri Ali dan Alim Abu Hurairah bermukim di Gresik dan dikenal dengan SUNAN GRESIK dan SUNAN MAJAGUNG. Dengan kedatangan Raden Rahmat, maka dapat dikatakan bahwa susunan dewan wali dapat kita sebut angkatan kedua.
Pada tahun 1435 ada dua orang wali yang wafat, yaitu Maulana Malik Isro`il dan Maulana Muhammad Ali Akbar. Dengan meninggalnya dua orang itu, dewan mengajukan permohonan kepada Sultan Turki [tahun 1421 Sultan Muhammad I digantikan oleh sultan MURAD II, yang memimpin sampai tahun 1451 {Barraclough, 1982:48}] untuk dikirimkan dua orang pengganti yang mempunyai kemampuan agama yang lebih mendalam.
Permohonan tersebut dikabulkan dan pada tahun 1436 dikirim dua orang juru dakwah, yaitu :
1. SAYYID JA`FAR SHODIQ, berasal dari Palestina, yang selanjutnya bermukin di Kudus dan dikenal dengan nama SUNAN KUDUS. Dalam buku Babad Demak karya Atmodarminto {2001, disebutkan bahwa Sayyid Ja`far Shodiq adalah satu-satunya anggota walisongo yang paling menguasai Ilmu Fiqih.
2. SYARIF HIDAYATULLAH, berasal dari Palestina yang merupakan ahli strategi perang. Menurut buku Babad Tanah Sunda Babad Cirebon karya PS Sulendraningrat {tanpa tahun}, Syarif Hidayatullah adalah cucu Prabu Siliwangi dari Pajajaran hasil perkawinan Rara Santang dan Sultan Syarif Abdullah dari Mesir. Selanjutnya Syarif Hidayatullah bermukim di Cirebon dan dikenal dengan nama SUNAN GUNUNG JATI.
Dengan kedatangan wali muda tersebut, maka dapat dikatakan bahwa susunan dewan wali dapat kita sebut angkatan ketiga. Nampak dari informasi di atas bahwa ada tiga wali muda yang tentu mempunyai kedalaman ilmu agama yang lebih dibandingkan dengan angkatan sebelumnya.
Pada tahun 1462 dua orang anggota walisongo wafat, yaitu Maulana Hasanuddin dan Maulana Aliyuddin. Sebelum itu ada dua orang anggota wali yang meninggalkan tanah Jawa, yaitu Syekh Subakir pulang ke Persia dan Maulana Ishak berdakwah di Pasai. (Baca: Islam Dan Kristen Dalam Jangka Jayabaya Syekh Bakir)
Dalam sidang walisongo di Ampeldento, diputuskan bahwa ada empat orang yang masuk dalam dewan walisongo, yaitu:
  1. Raden MAKHDUM IBRAHIM, putra Sunan Ampel yang bermukim di desa Mbonang, Tuban. Selanjutnya dikenal dengan nama SUNAN MBONANG. (Baca : Tafsir Sunan Bonang, Bukti Karya Intelektual Walisongo)
  2. Raden QOSIM, putra Sunan Ampel yang bermukim di lamongan dan dikenal dengan nama SUNAN DRAJAT.
  3. Raden PAKU, putra Maulana ISHAQ yang bermukim di Gresik dan selanjutnya dikenal dengan nama SUNAN GIRI.
  4. Raden Mas SAID, putra Adipati Tuban yang bermukim di Kadilangu, Demak. Selanjutnya dikenal dengan nama SUNAN KALIJOGO.
Dengan perubahan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa susunan dewan wali dapat kita sebut angkatan keempat. Dalam dewan walisongo angkatan keempat ini masih ada dua orang yang bersal dari angkatan pertama, sehingga pada tahun 1463 mereka sudah bertugas di tanah Jawa selama 59 tahun. Dua orang itu adalah Maulana Ahmad Jumadil Qubro yang meninggal pada tahun 1465 dan Maulana Muhammad Al Maghrobi [tidak diketahui tahun berapa wafatnya]. Dalam kitab walisana disebutkan bahwa pada saatRaden FATAH menghadapi SYEKH SITI JENAR, Maulana Muhammad Al Maghrobi masih merupakan tokoh sentral, kuat dugaan bahwa beliau yang mengambil keputusan tentang masalah Syekh Siti Jenar.
Perlu diperhatikan bahwa mulai angkatan keempat ini banyak anggota walisongo yang merupakan putra bangsawan pribumi. Bersamaan dengan itu, orientasi ajaran Islam mulai berubah dari Arab Sentris menjadi Islam Kompromistis. Pada saat itulah tubuh walisongo mulai terbelah antara kelompok futi`adan aba`ah, barangkali pada saat itu pula muncul istilah Walisongo. Isi kitab walisana yang ditulis oleh Sunan Giri II pun yang ditulis pada awal abad 16 banyak berbeda dengan buku-buku sunan Mbonang yang masih menjelaskan ajaran Islam yang murni.
Dengan meninggalnya dua orang wali yang paling tua itu, maka pada tahun 1466 diadakan sidang yang memutuskan memasukkan anggota baru dan mengganti ketua dewan yang sudah berusia lanjut. Ketua dewan yang dipih dalam siding tersebut adalah Sunan GIRI, sedangkan anggota dewan yang masuk adalah :
1. Raden FATAH, putra Raja Majapahit Brawijaya V yang merupakan Adipati Demak.
2. FATHULLAH KHAN, putra Sunan Gunung Jati yang dimaksudkan untuk membantu tugas ayahandanya yang sudah berusia lanjut.
Dengan perubahan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa susunan dewan wali dapat kita sebut angkatan kelima.
Setelah Raden Fatah dinobatkan menjadi Sultan Demak Bintara, maka pada tahun 1478, dilakukan perombakan lagi dalam tubu dewan walisongo. Selain Raden Fatah, Sunan Gunung Jati pun lengser karena usianya yang lanjut. Posisi Sunan Gunung Jati digantikan oleh Fathullah Khan yang memang sudah ada dalam dewan walisongo. Dua posisi yang kosong diisi oleh :
1. Raden UMAR SAID, putra Sunan Kalijogo yang lebih dikenal sebagai SUNAN MURIA.
2. Sunan PANDANARAN, murid Sunan Kalijogo yang bermukim di Tembayat, juga dikenal sebagai SUNAN TEMBAYAT.
Menurut kitab walisana karya Sunan Giri II, status Sunan Muria dan Sunan Padanaran hanya sebagai wali penerus atau wali nubuah atau wali nukbah. Kitab walisana juga tidak pernah menyebut nama Fathullah Khan sebagai anggota walisongo. Barangkali hal itu terjadi karena begitu diangkat menjadi anggota walisongo, Fathullah Khan langsung disebut sebagai Sunan Gunung Jati seperti sebutan untuk ayahandanya.
Setelah masa walisongo angkatan keenam, masih banyak orang yang pernah mendapat gelar sebagai wali, namun kapan mereka itu diangkat dan menggantikan siapa, tidak ada bukti dan keterangan yang dapat dijadikan patokan dan kebenarannyapun masih banyak diragukan. Mereka itu misalnya SYEKH SITI JENAR, Sunan GESENGsunan NGUDUNG, Sunan PADUSANSunan KALINYAMATSunan MURYAPODO, dan ada beberapa orang yang juga dianggap sebagai wali misalnya Ki Ageng Selo dan Ki Ageng Pengging. []
E.A. Indrayana
Pemerhati Sejarah Kerajaan Jawa
Tinggal di Bekasi
Ditulis ulang dari http://nyimaspakungwati.blogspot.com/2009/05/carut-marut-hikayat-walisongo.html
Pustaka:
o Hasanu Simon, 2004, Peranan Walisongo Dalam Mengislamkan Tanah Jawa Dalam Misteri Syekh Siti Jenar, Pustaka Pelajar, Jogjakarta.
o Sulendraningrat, 1984, Babad Tanah Sunda Babad Cirebon.
o Asnan Wahyudi dan Abu Khalid MA, tanpa tahun, Kisah Walisongo, Karya Ilmi, Surabaya.
o Widji Saksono, 1995, Mengislamkan Tanah Jawa:Telaah atas Metode Dakwah Walisongo,Penerbit Mizan, Bandung.
o Atmodarminto, R., 2000, Babad Demak;Dalam Tafsir Sosial Politik Keislaman dan Kebangsaan, terjemahan Saudi Berlian, Millenium Publisher, Jakarta. (© Banyu Mili 2009)

Saturday 19 March 2016

                           Harga 30.000
Harga 40.000
Yang minat hubungi 085741749232
Pin bb 5225B4C1

Tuesday 15 March 2016

BAHASA JAWA KUNA DAN PERTENGAHAN; KAKAWIN DAN KIDUNG; KESUSASTRAAN


BAHASA JAWA KUNA DAN PERTENGAHAN; KAKAWIN DAN KIDUNG; KESUSASTRAAN

Bahasa Jawa Kuno dari abad ke-9 merupakan bentuk tertua Bahasa Jawa yang dalam perkrmbangan waktu mengalami banyak perubahan. Semua dapat kita lihat bila kita membandingkan berbagai karya sastra. Bila kita membandingkan sebuah karya dari abad ke-11, seperti misalnya Arjunawiwāha, dengan salah satu karya akhir abad ke-15, seperti misalnya Śiwarātrikalpa (Lubdhaka). Dalam hal fonetik hampir tidak ada perubahan, perbedaan gramatikal hanya sedikit dan tanpa arti. Maka dari itu, bila kita menamakan sastra abad ke-11 sastra Jawa Kuno, tak ada alasan yang meyakinkan untuk tidak memberikan nama itu kepada karya-karya sastra dari abad ke-15. Namun bila kita membandingkan kedua kakawin yang tersebut di atas dengan sebuah syair yang lain jenisnya, seperti misalnya Kidung Sunda, perbedaan bahasa seketika menonjol. Sering muncul pasangan-pasangan varian, akibat perubahan fonetis. Kita masih memiliki sejumlah karya sastra yang bahasanya mempelihatkan ciri-ciri yang sama seperti tampak di atas tadi, berhubung karyanya pasti ditulis lebih kemudian daripada kakawin-kakawin dari periode klasik yang lebih dahulu, maka pada bentuk bahasa Jawa yang lebih muda itu, diberi nama Bahasa Jawa Pertengahan. Jawa pertengahan merupakan bentuk bahasa pada akhir jaman Hindu-Jawa dan suatu tahap peralihan antara Jawa Kuno dan Bahasa Jawa Modern. Dalam sastra Jawa Kuno terdapat dua macam puisi yang berbeda satu dengan yang lain terutama karena metrumnya, yaitu jenis kakawin dan kidung. Yang pertama menggunakan metrum-metrum dari India, sedangkan yang kedua metrum-metrum asli Jawa atau Indonesia. Dalam bahasanya pun terdapat suatu perbedaan, dalam kakawin dipakai bahasa Jawa Kuno, sedangkan dalam kidung dipakai Jawa Pertengahan. Namun di samping puisi kakawin terdapat juga prosa yang memperlihatkan semua ciri khas bahasa yang dipakai kidung. Jawa Kuno dan Jawa Pertengahan seoleh-olah menggambarkan suatu perbedaan menurut waktu, seakan-akan Jawa Pertengahan berkembang dari Jawa Kuno. Ini memperkuat kepercayaan bahwa sejarah sastra Jawa jaman dahulu dapat dibagi dalam dura periode, yaitu periode Jawa Kuno den periode Jawa Pertengahan. Sebuah karya yang jelas ditulis dalam Jawa Kuno biasanya dianggap lebih tua daripada karya yang ditulis dalam Bahasa Jawa Pertengahan, dan kaidah ini berguna untuk menyusun suatu kronologi, walaupun relatif. Bahasa seringkali merupakan landasan rapuh untuk menyusun suatu kronologi, dan istilah Jawa Kuno dan Jawa Pertengahan menjanjikan lebih banyak daripada apa yang dapat diberikan.
Kebanyakan sastra Jawa Kuno kita tidak dapat menentukan kapankarya tersebut ditulis, tetapi mengenai beberapa kakawin kita mempunyai alasan yang kuat untuk menentukan kapan kakawin itu ditulis. Tanggal itu dapat diperkirakan bila kita mempunyai prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja yang sama. Kesulitan bila kita ingin menentukan tanggal penulisan sebuah karya antara lain adalah; menentukan tanggal sangat bergantung pada cara nama raja ditafsirkan, kemudian mencari dan melihat perbedaan linguistis antara kakawin-kakawin dari periode-periode yang berbeda-beda. Namun walaupun kita dapat melihat perbedaan linguistis dan dapat menafsirkan nama raja yang sama, kita masih tidak dapat menentukan waktu karena kakawin sifatnya sangat tradisional. Jelaslah sastra kakawin tidak dapat dikatakan mencerminkan bahasa pada jamannya kerena bahasa kakawin di contek dan dijiplak semirip mungkin dengan aslinya dan itu terjadi dari beberapa abad. Bahkan di Bali ada tradisi lokal menganggap beberapa kakawin sebagai hasil penulisan abad ke-19.
Jika kita hanya bersandar pada bahasa, kita mungkin akan mengira bahwa sebuah karya jaman Renaissance dengan gaya ala Cicero, ditulis jauh lebih dahulu daripada sebuah karya sejenis periode Latin Arab Pertengahan. Dapat disimpulkan bahwa kurun waktu yang menghasilkan sastra kakawindapat ditulis di Bali, tetapi perlu dicatat bahwa jarang kita temui ungkapan khas Bali. Dalam Jawa Pertengahan, rintangan untuk mengetahui waktu penulisan suatukarya lebih terasa daripada Jawa Kuno.
Bila kita ingin secara garis besar menyusun suatu kronologi bagi sastra kidung, kita terpaksa tidak dapat mengandalkan beberapa patokan yang dalam hal kakawin kadang membuka celah kepastian yang sangat berharga. Di sini kita hanya dapat berpedoman pada bahasanya dan tidak ada satu tanggal pun yang bertalian dengan bentuk bahasa seperti dipakai dalam suatu karya sastra tertentu. Dengan demikian kita hanya dapat bersandar pada beberapa kesan umum saja. Karena pertalian dengan Jawa Kuno menjadi makin renggang, maka bertambah juga bentuk-bentuk gramatikal dan morfologis yang menyimpang dan tidak konsisten, bahkan terdapat ungkapan-ungkapan yang jelas merupakan Balinisme. Itu semua menunjukkan bahwa Jawa Pertengahan meneruskan perjalanannya sendiri dan bahwa jurang yang memisahkan periode Hindu-Jawa di Jawa dari periode Bali yang mengalami Jawanisasi menjadi lebih lebar. Beberapa kakawin dalam Jawa Kuno mungkin lebih muda daripada beberapa kidung dari Jawa Pertengahan. Kebanyakan kidung ditulis di Bali, dan berdasarkan karya-karya yang kita miliki, kita dapat bernalar bahwa semua sastra Jawa Pertengahan yang kita kenal dewasa ini, berasal dari Bali. Namun tidak berarti bahwa puisi kidung mulai ditulis di Bali dan tidak dikenal di Jawa sebelum runtuhnya Majapahit. Maka keberatan utama mengenai istilah Jawa Pertengahan adalah bahwa istilah ini memberi gambaran seolah-olah merupakan suatu bentuk peralihan, semacam jembatan antara Jawa Kuno dan Jawa modern. Dan seperti telah kita lihat kesimpulan tersebut tidak tepat. Bahasa ini dipakai dalam kalangan kraton-kraton di Bali dan untuk sebagian besar ditulis pada suatu waktu ketika hubungan dengan Pulau Jawa praktis terputus, kecuali daerah keci di Jawa Timur di tempat kebudayaan Hindu-Jawa masih dapat bertahan untuk sementara waktu. Tidak masuk akal bahwa bahasa sastra yang waktu itu digunakan di Bali menjadi jembatan antara Jawa Kuno dengan Jawa Modern.
Istilah Jawa Modern puu agak membingungkan. Biasanya istilah ini digunakan untuk menunjuk bahasa yang dipakai dalam Sastra Jawa pada jaman para pujangga (akhir ababd ke-18 atau awal abad ke-19) dan yang tidak berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam puisi Jawa sekarang atau bahasa yang dituturkan di Yogyakarta atau Surakarta dan umumnya diakui sebagai patokan bahasa Jawa halus. Namun banyak sifatnya yang khas kita jumpai jauh lebih dulu. Kita mempunyai dua karya prosa berupa ulasan mengenai agama Islam dan yang mungkin sekali berasal dari daerah pantai utara Jawa. Naskah itu dibawa ke Eropa dan dihadiahkan kepada Universitas Leiden pada tahun 1597. Dengan demikian karya ini, mungkin juga yang lainnya dapat ditentukan berasal dari abad ke-16.
Penelitian kita yang didorong oleh nafsu ingin tahu, menghasilkan suatu kesimpulan yang cukup mengherankan, yaitu; pada saat yang sama, ialah abad ke-16 terdapat Bahasa Jawa Kuno seperti kita jumpai dalam sastra kakawin yang ditulis di Bali berdampingan dengan Jawa Pertengahan seperti nampak dalam sastra kidung di Bali serta Jawa Modern seperti terdapat dalam kedua karya tentang agama Islam. Gaya-gaya regional dalam hal penuturan merupakan suatu faktor penentu dalam pembentukan Jawa Modern, seperti misalnya bahasa daerah pesisir mempengaruhi sastra Islam awal, sedangkan tutur di Jawa Tengah merupakan faktor utama dalam mewujudkan apa yang menjadi bentuk baku bagi Jawa Modern. Suatu ukuran sederhana yang membantu kita untuk mengenal Jawa Modern ialah frekuensi dipergunakannya kata-kata yang berasal dari bahasa Arab.
Keterangan tersebut di atas mengenai terjadinya tiga bentuk bahasa Jawa tidak dapat diterima, karena itu berarti Jawa Pertengahan dan Jawa Modern, dua cabang Jawa Kuno, berkembang dan memperoleh sifat-sifatnya yang khas setelah terpisah dari Jawa Kuno dan lepas satu dan lainnya. Namun suatu penelitian komparatif tidak membenarkan hipotesis tadi.
Dalam pengandaian Jawa Pertengahan dan Jawa Modern baru mulai dibentuk sejak kesatuan dalam kebudayaan Jawa terpecah, maka hanya terbuka dua kemungkinan. Atau keserasian antara kedua bentuk bahasa Jawa itu hanya kebetulan saja terjadi atau yang satu meminjam kata itu dari yang lain. Tetapi melihat jumlah kata yang mirip satu dan lainnya cukup banyak, maka keterangan terakhir tadi hanya dapat dipertahankan jikaantara kedua bentuk linguistis itu terdapat hubungan dan pengaruh timbal balik yang lebih erat. Karena alasan ini hipotesis seoleh-oleh ada dua cabang yang sama sekali terpisah sebaiknya dikesampingkan. Satu-satunya alternatif yang ada adalah sifat-sifat yang dimiki bersama oleh Jawa Pertengahan dan Jawa Modern. Jawa Pertengahan sudah terdapat di pulau Jawa sebelum, dan mungkin jauh sebelum kekuasaan politik Hindu-Jawa lenyap. Jawa Pertengahan digunakan dalam pergaulan sehari-hari dan jelas berbeda dari bahasa kakawin. Bahasa Jawa Pertengahan merupakan bahasa yang umum dipakai di Jawa semenjak akhir abad ke-10 menurut penanggalan saka, yaitu pada tahun 978-1078. Ini berarti seluruh sastra kakawin kecuali Rāmāyaṇa, ditulis dalam suatu bahasa yang berbeda dari bahasa sehari-hari. Pada periode Hindu-Jawa terdapat suatu bentuk bahasa Jawa yang berbeda dari Bahasa Jawa Kuno yang dipakai dalam kakawin dan juga dalam sastra prosa. Bahasa Jawa nonsastra itu tidak harus bersifat sergam. Bahkan bahasa itu memperlihatkan variasi-variasi regional maupun sosial. Kita memiliki berbagai karya prosa yang karena penyimpangannya dari bahasa Jawa Kuno yang baku memberi kesan seolah-olah ditulis pada suatu masa yang lebih dekat pada kita.