Monday 21 March 2016

Melacak Sejarah Walisongo Dari Dokumen-Dokumen Kuno Terpercaya

Muslimdaily.net – Sejarah masuknya Islam di Indonesia sungguh penuh dengan carut-marut karena sejak dahulu bangsa Indonesia memang lemah dalam sistem dokumentasi. Akibatnya, sejarah Indonesia sebelum datangnya bangsa Belanda selalu ada beberapa versi karena selalu ada distorsi dari pelaku sejarah maupun dari masyarakat yang meneruskan cerita tersebut kepada generasi berikutnya.
Sungguh suatu hal sangat memprihatinkan, bahwa sejarah lahirnya Islam di Jazirah Arabia yang terjadi pada abad ke-7 Masehi dan lahirnya Muhammad Shallallahu’alaihi wa Sallam [581 M], wafat [632 M] dan penggantinya Abu Bakar [632-634 M], Umar Bin Khotob [634-644 M], Usman Bin Affan [644-656 M], Ali Bin Abi Thalib [656-661 M] serta perkembangan Islam selanjutnya dapat terdokumentasi secara jelas. Namun sejarah masuknya Islam di Indonesia yang terjadi 7 abad setelahnya, justru tidak terdokumentasi secara pasti. Barangkali karena alasan itulah maka sejarah tentang walisongo juga penuh dengan carut-marut.
Kisah-kisah individu walisongo penuh dengan nuansa mistik, bahkan tidak hanya nuansa mistik yang menyelimuti kisah walisongo tetapi juga penuh dengan berita-berita bohong. Mistik dan bohong adalah dua hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, tetapi mengapa keduanya justru menjadi warna utama kisah para wali yang telah berjasa besar dalam menyebarkan ajaran Islam di Indonesia?
Sebagai umat Islam tentu saja kita harus mengembangkan metode berpikir dialektis untuk mengambil hikmah yang sesungguhnya dan meluruskan sejarah yang sebenarnya berdasarkan sumber yang benar.
Berikut adalah dokumen-dokumen yang dipastikan kebenarannya sehubungan dengan kisah-kisah Walisongo;
1. “Het book van Bonang”, buku ini ada di perpustakaan Leiden-Belanda, yang menjadi salah satu dokumen langka dari Zaman Walisongo. Kalau tidak dibawa Belanda, mungkin dokumen yang amat penting itu sudah lenyap. Buku ini ditulis oleh Sunan Bonang pada abad 15 yang berisi tentang ajaran-ajaran Islam. (Baca: Diskusi Para Wali Songo Dalam Buku ‘Het Book Van Bonang’ )
2. “Suluk Linglung”, buku karya Sunan Kalijogo. Buku ini berbeda dengan buku ‘Suluk Linglung’ karya Imam Anom yang banyak beredar.
3. “Kropak Farara, buku yang amat penting tentang walisongo ini diterjemahkan oleh Prof. Dr. GJW Drewes ke dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan oleh Wahyudi ke dalam bahasa Indonesia. (Baca:Wejangan Agama Dari Era Sekitar Wali Jawa)
4. “Kitab Walisana”, kitab yang disusun oleh Sunan Giri ini berisi tentang ajaran Islam dan beberapa peristiwa penting dalam perkembangan masuknya agama Islam di tanah Jawa.
Istilah walisongo memang masih kontroversial dan tidak ada dokumen yang dapat dijadikan rujukan untuk menentukan mana yang benar. Istilah walisongo adalah nama sebuah dewan yang beranggotakan 9 orang [A. Wahyudi dan Abu Khalid; Widji Saksono,1995].
Anggota walisongo merupakan orang-orang pilihan dan oleh karena itu oleh orang jawa dinamakan wali. Istilah wali berasal dari bahasa Arab aulia, yang artinya orang yang dekat dengan Allah SWT karena ketakwaannya. Sedangkan istilah songo merujuk kepada penyebaran agama Islam ke segala penjuru. Orang Jawa mengenal istilah kiblat papat limo pancer untuk menggambarkan segala penjuru, yaitu utara-timur-selatan-barat disebut kiblat papat dan empat arah diantaranya ditambah pusat disebut limo pancer.
Dalam kitab Kanzul Ulum karya IBNU BATHUTHAH yang masih tersimpan di perpustakaan istana Kasultanan Ottoman di Istanbul, pembentukan Walisongo ternyata pertama kali dilakukan oleh Sultan Turki, MUHAMMAD I yang menerima laporan dari para saudagar Gujarat {India} bahwa di pulau Jawa jumlah pemeluk agama Islam masih sangat sedikit. Berdasarkan laporan tersebut Sultan MUHAMMAD I membentuk sebuah tim yang beranggotakan 9 orang, yaitu:
1. MAULANA MALIK IBRAHIM, berasal dari Turki, ahli irigasi dan tata pemerintahan;
2. MAULANA ISHAQ, berasal dari Samarkan ahli pengobatan;
3. MAULANA AHMAD JUMADIL KUBRO, berasal dari Mesir;
4. MAULAN MUHAMMAD AL MAGHROBI, berasal dari Maroko;
5. MAULANA MALIK ISRO’IL, berasal dari Turki, ahli tata pemerintahan;
6. MAULANA MUHAMMAD ALI AKBAR, berasal dari Iran, ahli pengobatan;
7. MAULANA HASANUDDIN, dari Palestina;
8. MAULANA ALIYUDDIN, dari Palestina;
9. SYEIKH SUBAKIR, dari Iran, ahli kemasyarakatan;
Inilah walisongo angkatan pertama yang datang ke pulau Jawa pada saat yang tepat, karena Majapahit sendiri pada saat itu sedang dilanda perang saudara, yaitu perang Paregreg, sehingga kedatangan mereka tidak begitu mendapat perhatian. Perlu diketahui bahwa tim pertama tersebut bukanlah para ahli agama atau bisa dikatakan bahwa mereka belum mempunyai ilmu agama yang mumpuni. Sultan Muhammad I tidak pernah menyebut tim tersebut dengan nama walisongo. Barangkali istilah walisongo berasal dari masyarakat atau dari tim itu sendiri setelah bekerja beberapa puluh tahun. Adapula kemungkinan bahwa istilah walisongo muncul setelah wali pribumi dari kalangan bangsawan yang masuk ke dalam tim.
Karena Maulana Malik Ibrahim sebagai ketua walisongo wafat pada tahun 1419 M, maka pada tahun 1421 M dikirim seorang penyebar Islam baru yang bernama AHMAD ALI RAHMATULLAH dari Champa yang juga keponakan MAULANA ISHAK. Beliau adalah anak IBRAHIM ASMARAKANDI yang menjadi menantu Sultan Campha. Pemilihan Ahmad Ali Rahmatullah yang nantinya sering dipanggil RADEN RAHMAT adalah keputusan yang sangat tepat, karena Raden Rahmat dianggap mempunyai kelebihan [ilmu agama yang lebih dalam] dan putra Mahkota kerajaan Majapahit pada saat itu menikah dengan bibi Raden Rahmat. Oleh karena itu dengan Raden Rahmat menjadi ketua, walisongo berharap agar Prabu Kerta Wijaya dapat masuk Islam, atau setidak-tidaknya tidak menghalangi penyebarah Islam. Dialog antara Raden Rahmat yang mengajak Prabu Kerta Wijaya masuk Islam tertulis dalam Kitab Walisana dengan langgam Sinom pupuh IV bait 9-11 dan bait 12-14.
Karena masih kerabat istana, maka Raden Rahmat diberi daerah Ampeldento oleh Raja Majapahit yang kemudian dijadikan markas untuk mendirikan pesantren. Selanjutnya Raden Rahmat dikenal dengan nama SUNAN AMPEL. Menurut Widji Saksono [1995:23-24], kedatangan Raden Rahmat di pulau Jawa disertai dua pemuda bangsawan Champha yaitu Raden SANTRI ALI dan ALIM ABU HURAIRAH serta 40 orang pengawal. Selanjutnya Raden Santri Ali dan Alim Abu Hurairah bermukim di Gresik dan dikenal dengan SUNAN GRESIK dan SUNAN MAJAGUNG. Dengan kedatangan Raden Rahmat, maka dapat dikatakan bahwa susunan dewan wali dapat kita sebut angkatan kedua.
Pada tahun 1435 ada dua orang wali yang wafat, yaitu Maulana Malik Isro`il dan Maulana Muhammad Ali Akbar. Dengan meninggalnya dua orang itu, dewan mengajukan permohonan kepada Sultan Turki [tahun 1421 Sultan Muhammad I digantikan oleh sultan MURAD II, yang memimpin sampai tahun 1451 {Barraclough, 1982:48}] untuk dikirimkan dua orang pengganti yang mempunyai kemampuan agama yang lebih mendalam.
Permohonan tersebut dikabulkan dan pada tahun 1436 dikirim dua orang juru dakwah, yaitu :
1. SAYYID JA`FAR SHODIQ, berasal dari Palestina, yang selanjutnya bermukin di Kudus dan dikenal dengan nama SUNAN KUDUS. Dalam buku Babad Demak karya Atmodarminto {2001, disebutkan bahwa Sayyid Ja`far Shodiq adalah satu-satunya anggota walisongo yang paling menguasai Ilmu Fiqih.
2. SYARIF HIDAYATULLAH, berasal dari Palestina yang merupakan ahli strategi perang. Menurut buku Babad Tanah Sunda Babad Cirebon karya PS Sulendraningrat {tanpa tahun}, Syarif Hidayatullah adalah cucu Prabu Siliwangi dari Pajajaran hasil perkawinan Rara Santang dan Sultan Syarif Abdullah dari Mesir. Selanjutnya Syarif Hidayatullah bermukim di Cirebon dan dikenal dengan nama SUNAN GUNUNG JATI.
Dengan kedatangan wali muda tersebut, maka dapat dikatakan bahwa susunan dewan wali dapat kita sebut angkatan ketiga. Nampak dari informasi di atas bahwa ada tiga wali muda yang tentu mempunyai kedalaman ilmu agama yang lebih dibandingkan dengan angkatan sebelumnya.
Pada tahun 1462 dua orang anggota walisongo wafat, yaitu Maulana Hasanuddin dan Maulana Aliyuddin. Sebelum itu ada dua orang anggota wali yang meninggalkan tanah Jawa, yaitu Syekh Subakir pulang ke Persia dan Maulana Ishak berdakwah di Pasai. (Baca: Islam Dan Kristen Dalam Jangka Jayabaya Syekh Bakir)
Dalam sidang walisongo di Ampeldento, diputuskan bahwa ada empat orang yang masuk dalam dewan walisongo, yaitu:
  1. Raden MAKHDUM IBRAHIM, putra Sunan Ampel yang bermukim di desa Mbonang, Tuban. Selanjutnya dikenal dengan nama SUNAN MBONANG. (Baca : Tafsir Sunan Bonang, Bukti Karya Intelektual Walisongo)
  2. Raden QOSIM, putra Sunan Ampel yang bermukim di lamongan dan dikenal dengan nama SUNAN DRAJAT.
  3. Raden PAKU, putra Maulana ISHAQ yang bermukim di Gresik dan selanjutnya dikenal dengan nama SUNAN GIRI.
  4. Raden Mas SAID, putra Adipati Tuban yang bermukim di Kadilangu, Demak. Selanjutnya dikenal dengan nama SUNAN KALIJOGO.
Dengan perubahan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa susunan dewan wali dapat kita sebut angkatan keempat. Dalam dewan walisongo angkatan keempat ini masih ada dua orang yang bersal dari angkatan pertama, sehingga pada tahun 1463 mereka sudah bertugas di tanah Jawa selama 59 tahun. Dua orang itu adalah Maulana Ahmad Jumadil Qubro yang meninggal pada tahun 1465 dan Maulana Muhammad Al Maghrobi [tidak diketahui tahun berapa wafatnya]. Dalam kitab walisana disebutkan bahwa pada saatRaden FATAH menghadapi SYEKH SITI JENAR, Maulana Muhammad Al Maghrobi masih merupakan tokoh sentral, kuat dugaan bahwa beliau yang mengambil keputusan tentang masalah Syekh Siti Jenar.
Perlu diperhatikan bahwa mulai angkatan keempat ini banyak anggota walisongo yang merupakan putra bangsawan pribumi. Bersamaan dengan itu, orientasi ajaran Islam mulai berubah dari Arab Sentris menjadi Islam Kompromistis. Pada saat itulah tubuh walisongo mulai terbelah antara kelompok futi`adan aba`ah, barangkali pada saat itu pula muncul istilah Walisongo. Isi kitab walisana yang ditulis oleh Sunan Giri II pun yang ditulis pada awal abad 16 banyak berbeda dengan buku-buku sunan Mbonang yang masih menjelaskan ajaran Islam yang murni.
Dengan meninggalnya dua orang wali yang paling tua itu, maka pada tahun 1466 diadakan sidang yang memutuskan memasukkan anggota baru dan mengganti ketua dewan yang sudah berusia lanjut. Ketua dewan yang dipih dalam siding tersebut adalah Sunan GIRI, sedangkan anggota dewan yang masuk adalah :
1. Raden FATAH, putra Raja Majapahit Brawijaya V yang merupakan Adipati Demak.
2. FATHULLAH KHAN, putra Sunan Gunung Jati yang dimaksudkan untuk membantu tugas ayahandanya yang sudah berusia lanjut.
Dengan perubahan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa susunan dewan wali dapat kita sebut angkatan kelima.
Setelah Raden Fatah dinobatkan menjadi Sultan Demak Bintara, maka pada tahun 1478, dilakukan perombakan lagi dalam tubu dewan walisongo. Selain Raden Fatah, Sunan Gunung Jati pun lengser karena usianya yang lanjut. Posisi Sunan Gunung Jati digantikan oleh Fathullah Khan yang memang sudah ada dalam dewan walisongo. Dua posisi yang kosong diisi oleh :
1. Raden UMAR SAID, putra Sunan Kalijogo yang lebih dikenal sebagai SUNAN MURIA.
2. Sunan PANDANARAN, murid Sunan Kalijogo yang bermukim di Tembayat, juga dikenal sebagai SUNAN TEMBAYAT.
Menurut kitab walisana karya Sunan Giri II, status Sunan Muria dan Sunan Padanaran hanya sebagai wali penerus atau wali nubuah atau wali nukbah. Kitab walisana juga tidak pernah menyebut nama Fathullah Khan sebagai anggota walisongo. Barangkali hal itu terjadi karena begitu diangkat menjadi anggota walisongo, Fathullah Khan langsung disebut sebagai Sunan Gunung Jati seperti sebutan untuk ayahandanya.
Setelah masa walisongo angkatan keenam, masih banyak orang yang pernah mendapat gelar sebagai wali, namun kapan mereka itu diangkat dan menggantikan siapa, tidak ada bukti dan keterangan yang dapat dijadikan patokan dan kebenarannyapun masih banyak diragukan. Mereka itu misalnya SYEKH SITI JENAR, Sunan GESENGsunan NGUDUNG, Sunan PADUSANSunan KALINYAMATSunan MURYAPODO, dan ada beberapa orang yang juga dianggap sebagai wali misalnya Ki Ageng Selo dan Ki Ageng Pengging. []
E.A. Indrayana
Pemerhati Sejarah Kerajaan Jawa
Tinggal di Bekasi
Ditulis ulang dari http://nyimaspakungwati.blogspot.com/2009/05/carut-marut-hikayat-walisongo.html
Pustaka:
o Hasanu Simon, 2004, Peranan Walisongo Dalam Mengislamkan Tanah Jawa Dalam Misteri Syekh Siti Jenar, Pustaka Pelajar, Jogjakarta.
o Sulendraningrat, 1984, Babad Tanah Sunda Babad Cirebon.
o Asnan Wahyudi dan Abu Khalid MA, tanpa tahun, Kisah Walisongo, Karya Ilmi, Surabaya.
o Widji Saksono, 1995, Mengislamkan Tanah Jawa:Telaah atas Metode Dakwah Walisongo,Penerbit Mizan, Bandung.
o Atmodarminto, R., 2000, Babad Demak;Dalam Tafsir Sosial Politik Keislaman dan Kebangsaan, terjemahan Saudi Berlian, Millenium Publisher, Jakarta. (© Banyu Mili 2009)

Saturday 19 March 2016

                           Harga 30.000
Harga 40.000
Yang minat hubungi 085741749232
Pin bb 5225B4C1

Tuesday 15 March 2016

BAHASA JAWA KUNA DAN PERTENGAHAN; KAKAWIN DAN KIDUNG; KESUSASTRAAN


BAHASA JAWA KUNA DAN PERTENGAHAN; KAKAWIN DAN KIDUNG; KESUSASTRAAN

Bahasa Jawa Kuno dari abad ke-9 merupakan bentuk tertua Bahasa Jawa yang dalam perkrmbangan waktu mengalami banyak perubahan. Semua dapat kita lihat bila kita membandingkan berbagai karya sastra. Bila kita membandingkan sebuah karya dari abad ke-11, seperti misalnya Arjunawiwāha, dengan salah satu karya akhir abad ke-15, seperti misalnya Śiwarātrikalpa (Lubdhaka). Dalam hal fonetik hampir tidak ada perubahan, perbedaan gramatikal hanya sedikit dan tanpa arti. Maka dari itu, bila kita menamakan sastra abad ke-11 sastra Jawa Kuno, tak ada alasan yang meyakinkan untuk tidak memberikan nama itu kepada karya-karya sastra dari abad ke-15. Namun bila kita membandingkan kedua kakawin yang tersebut di atas dengan sebuah syair yang lain jenisnya, seperti misalnya Kidung Sunda, perbedaan bahasa seketika menonjol. Sering muncul pasangan-pasangan varian, akibat perubahan fonetis. Kita masih memiliki sejumlah karya sastra yang bahasanya mempelihatkan ciri-ciri yang sama seperti tampak di atas tadi, berhubung karyanya pasti ditulis lebih kemudian daripada kakawin-kakawin dari periode klasik yang lebih dahulu, maka pada bentuk bahasa Jawa yang lebih muda itu, diberi nama Bahasa Jawa Pertengahan. Jawa pertengahan merupakan bentuk bahasa pada akhir jaman Hindu-Jawa dan suatu tahap peralihan antara Jawa Kuno dan Bahasa Jawa Modern. Dalam sastra Jawa Kuno terdapat dua macam puisi yang berbeda satu dengan yang lain terutama karena metrumnya, yaitu jenis kakawin dan kidung. Yang pertama menggunakan metrum-metrum dari India, sedangkan yang kedua metrum-metrum asli Jawa atau Indonesia. Dalam bahasanya pun terdapat suatu perbedaan, dalam kakawin dipakai bahasa Jawa Kuno, sedangkan dalam kidung dipakai Jawa Pertengahan. Namun di samping puisi kakawin terdapat juga prosa yang memperlihatkan semua ciri khas bahasa yang dipakai kidung. Jawa Kuno dan Jawa Pertengahan seoleh-olah menggambarkan suatu perbedaan menurut waktu, seakan-akan Jawa Pertengahan berkembang dari Jawa Kuno. Ini memperkuat kepercayaan bahwa sejarah sastra Jawa jaman dahulu dapat dibagi dalam dura periode, yaitu periode Jawa Kuno den periode Jawa Pertengahan. Sebuah karya yang jelas ditulis dalam Jawa Kuno biasanya dianggap lebih tua daripada karya yang ditulis dalam Bahasa Jawa Pertengahan, dan kaidah ini berguna untuk menyusun suatu kronologi, walaupun relatif. Bahasa seringkali merupakan landasan rapuh untuk menyusun suatu kronologi, dan istilah Jawa Kuno dan Jawa Pertengahan menjanjikan lebih banyak daripada apa yang dapat diberikan.
Kebanyakan sastra Jawa Kuno kita tidak dapat menentukan kapankarya tersebut ditulis, tetapi mengenai beberapa kakawin kita mempunyai alasan yang kuat untuk menentukan kapan kakawin itu ditulis. Tanggal itu dapat diperkirakan bila kita mempunyai prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja yang sama. Kesulitan bila kita ingin menentukan tanggal penulisan sebuah karya antara lain adalah; menentukan tanggal sangat bergantung pada cara nama raja ditafsirkan, kemudian mencari dan melihat perbedaan linguistis antara kakawin-kakawin dari periode-periode yang berbeda-beda. Namun walaupun kita dapat melihat perbedaan linguistis dan dapat menafsirkan nama raja yang sama, kita masih tidak dapat menentukan waktu karena kakawin sifatnya sangat tradisional. Jelaslah sastra kakawin tidak dapat dikatakan mencerminkan bahasa pada jamannya kerena bahasa kakawin di contek dan dijiplak semirip mungkin dengan aslinya dan itu terjadi dari beberapa abad. Bahkan di Bali ada tradisi lokal menganggap beberapa kakawin sebagai hasil penulisan abad ke-19.
Jika kita hanya bersandar pada bahasa, kita mungkin akan mengira bahwa sebuah karya jaman Renaissance dengan gaya ala Cicero, ditulis jauh lebih dahulu daripada sebuah karya sejenis periode Latin Arab Pertengahan. Dapat disimpulkan bahwa kurun waktu yang menghasilkan sastra kakawindapat ditulis di Bali, tetapi perlu dicatat bahwa jarang kita temui ungkapan khas Bali. Dalam Jawa Pertengahan, rintangan untuk mengetahui waktu penulisan suatukarya lebih terasa daripada Jawa Kuno.
Bila kita ingin secara garis besar menyusun suatu kronologi bagi sastra kidung, kita terpaksa tidak dapat mengandalkan beberapa patokan yang dalam hal kakawin kadang membuka celah kepastian yang sangat berharga. Di sini kita hanya dapat berpedoman pada bahasanya dan tidak ada satu tanggal pun yang bertalian dengan bentuk bahasa seperti dipakai dalam suatu karya sastra tertentu. Dengan demikian kita hanya dapat bersandar pada beberapa kesan umum saja. Karena pertalian dengan Jawa Kuno menjadi makin renggang, maka bertambah juga bentuk-bentuk gramatikal dan morfologis yang menyimpang dan tidak konsisten, bahkan terdapat ungkapan-ungkapan yang jelas merupakan Balinisme. Itu semua menunjukkan bahwa Jawa Pertengahan meneruskan perjalanannya sendiri dan bahwa jurang yang memisahkan periode Hindu-Jawa di Jawa dari periode Bali yang mengalami Jawanisasi menjadi lebih lebar. Beberapa kakawin dalam Jawa Kuno mungkin lebih muda daripada beberapa kidung dari Jawa Pertengahan. Kebanyakan kidung ditulis di Bali, dan berdasarkan karya-karya yang kita miliki, kita dapat bernalar bahwa semua sastra Jawa Pertengahan yang kita kenal dewasa ini, berasal dari Bali. Namun tidak berarti bahwa puisi kidung mulai ditulis di Bali dan tidak dikenal di Jawa sebelum runtuhnya Majapahit. Maka keberatan utama mengenai istilah Jawa Pertengahan adalah bahwa istilah ini memberi gambaran seolah-olah merupakan suatu bentuk peralihan, semacam jembatan antara Jawa Kuno dan Jawa modern. Dan seperti telah kita lihat kesimpulan tersebut tidak tepat. Bahasa ini dipakai dalam kalangan kraton-kraton di Bali dan untuk sebagian besar ditulis pada suatu waktu ketika hubungan dengan Pulau Jawa praktis terputus, kecuali daerah keci di Jawa Timur di tempat kebudayaan Hindu-Jawa masih dapat bertahan untuk sementara waktu. Tidak masuk akal bahwa bahasa sastra yang waktu itu digunakan di Bali menjadi jembatan antara Jawa Kuno dengan Jawa Modern.
Istilah Jawa Modern puu agak membingungkan. Biasanya istilah ini digunakan untuk menunjuk bahasa yang dipakai dalam Sastra Jawa pada jaman para pujangga (akhir ababd ke-18 atau awal abad ke-19) dan yang tidak berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam puisi Jawa sekarang atau bahasa yang dituturkan di Yogyakarta atau Surakarta dan umumnya diakui sebagai patokan bahasa Jawa halus. Namun banyak sifatnya yang khas kita jumpai jauh lebih dulu. Kita mempunyai dua karya prosa berupa ulasan mengenai agama Islam dan yang mungkin sekali berasal dari daerah pantai utara Jawa. Naskah itu dibawa ke Eropa dan dihadiahkan kepada Universitas Leiden pada tahun 1597. Dengan demikian karya ini, mungkin juga yang lainnya dapat ditentukan berasal dari abad ke-16.
Penelitian kita yang didorong oleh nafsu ingin tahu, menghasilkan suatu kesimpulan yang cukup mengherankan, yaitu; pada saat yang sama, ialah abad ke-16 terdapat Bahasa Jawa Kuno seperti kita jumpai dalam sastra kakawin yang ditulis di Bali berdampingan dengan Jawa Pertengahan seperti nampak dalam sastra kidung di Bali serta Jawa Modern seperti terdapat dalam kedua karya tentang agama Islam. Gaya-gaya regional dalam hal penuturan merupakan suatu faktor penentu dalam pembentukan Jawa Modern, seperti misalnya bahasa daerah pesisir mempengaruhi sastra Islam awal, sedangkan tutur di Jawa Tengah merupakan faktor utama dalam mewujudkan apa yang menjadi bentuk baku bagi Jawa Modern. Suatu ukuran sederhana yang membantu kita untuk mengenal Jawa Modern ialah frekuensi dipergunakannya kata-kata yang berasal dari bahasa Arab.
Keterangan tersebut di atas mengenai terjadinya tiga bentuk bahasa Jawa tidak dapat diterima, karena itu berarti Jawa Pertengahan dan Jawa Modern, dua cabang Jawa Kuno, berkembang dan memperoleh sifat-sifatnya yang khas setelah terpisah dari Jawa Kuno dan lepas satu dan lainnya. Namun suatu penelitian komparatif tidak membenarkan hipotesis tadi.
Dalam pengandaian Jawa Pertengahan dan Jawa Modern baru mulai dibentuk sejak kesatuan dalam kebudayaan Jawa terpecah, maka hanya terbuka dua kemungkinan. Atau keserasian antara kedua bentuk bahasa Jawa itu hanya kebetulan saja terjadi atau yang satu meminjam kata itu dari yang lain. Tetapi melihat jumlah kata yang mirip satu dan lainnya cukup banyak, maka keterangan terakhir tadi hanya dapat dipertahankan jikaantara kedua bentuk linguistis itu terdapat hubungan dan pengaruh timbal balik yang lebih erat. Karena alasan ini hipotesis seoleh-oleh ada dua cabang yang sama sekali terpisah sebaiknya dikesampingkan. Satu-satunya alternatif yang ada adalah sifat-sifat yang dimiki bersama oleh Jawa Pertengahan dan Jawa Modern. Jawa Pertengahan sudah terdapat di pulau Jawa sebelum, dan mungkin jauh sebelum kekuasaan politik Hindu-Jawa lenyap. Jawa Pertengahan digunakan dalam pergaulan sehari-hari dan jelas berbeda dari bahasa kakawin. Bahasa Jawa Pertengahan merupakan bahasa yang umum dipakai di Jawa semenjak akhir abad ke-10 menurut penanggalan saka, yaitu pada tahun 978-1078. Ini berarti seluruh sastra kakawin kecuali Rāmāyaṇa, ditulis dalam suatu bahasa yang berbeda dari bahasa sehari-hari. Pada periode Hindu-Jawa terdapat suatu bentuk bahasa Jawa yang berbeda dari Bahasa Jawa Kuno yang dipakai dalam kakawin dan juga dalam sastra prosa. Bahasa Jawa nonsastra itu tidak harus bersifat sergam. Bahkan bahasa itu memperlihatkan variasi-variasi regional maupun sosial. Kita memiliki berbagai karya prosa yang karena penyimpangannya dari bahasa Jawa Kuno yang baku memberi kesan seolah-olah ditulis pada suatu masa yang lebih dekat pada kita.

Tuesday 27 October 2015

ASAL MULA AKSARA JAWA HANACARAKA


Aksara Jawa Hanacaraka merupakan salah satu aksara yang digunakan di Tanah Jawa dan sekitarnya, sering disebut aksara Jawa. Aksara Hancaraka sebenarnya diambil dari lima aksara pertama dalam aksara Jawa: “hana caraka”. Aksara Jawa sendiri berjumlah dua puluh aksara, yaitu:

 ha   na   ca   ra     ka
da   ta    sa   wa   la
pa   dha ja    ya   nya
ma  ga   ba   tha   nga

 Tapi tahukah kalian asal mula aksara jawa? Berikut ini cerita tentang asal mulanya aksara jawa hanacaraka.

Dahulu kala, di sebuah kerajaan Medhangkamulan, bertahtalah seorang raja bernama Dewata Cengkar. Atau terkenal dengan nama Prabu Dewata Cengkar. Seorang raja yang sangat rakus, bengis, tamak, dan suka memakan daging manusia. Karena kegemarannya memakan daging manusia, maka secara bergilir rakyatnya pun dipaksa menyetor upeti berwujud manusia.

Mendengar kebengisan Prabu Dewata Cengkar, seorang pengembara bernama Aji Saka bermaksud menghentikan kebiasaan sang raja. Aji Saka mempunyai 2 orang abdi yang sangat setia bernama Dora dan Sembada. Dalam perjalanannya ke kerajaan Medhangkamulan,­ Aji Saka mengajak Dora, sedangkan Sembada tetap ditempat karena harus menjaga sebuah pusaka sakti milik Aji Saka. Aji Saka berpesan kepada Sembada, agar jangan sampai pusaka itu diberikan kepada siapapun kecuali aku (Aji Saka).

Setelah beberapa waktu, sampailah Aji Saka di kerajaan Medhangkamulan yang sepi. Rakyat di kerajaan itu takut keluar rumah, karena takut menjadi santapan lezat sang raja yang bengis. Aji Saka segera menuju istana dan menjumpai sang patih. Dia berkata kalau dirinya sanggup dan siap dijadikan santapan Prabu Dewata Cengkar.

Tibalah pada hari dimana Aji Saka akan dimakan oleh Prabu Dewata Cengkar. Sebelum dimakan, sang prabu selalu mengabulkan 1 permintaan dari calon korban. Dan Aji Saka dengan tenang meminta tanah seluas syurban kepalanya. Mendengar permintaan Aji Saka, Prabu Dewata Cengkar hanya tertawa terbahak-bahak,­ dan langsung menyetujuinya. Maka dibukalah kain syurban penutup kepala Aji Saka.

Aji Saka memegang salah satu ujung syurban, sedangkan yang lain dipegang oleh Prabu Dewata Cengkar. Aneh, ternyata syurban itu seperti mengembang sehingga Dewata Cengkar harus berjalan mundur, mundur, dan mundur hingga sampai di tepi pantai selatan. Begitu Dewata Cengkar sampai di tepi pantai selatan, Aji Saka dengan cepat mengibaskan syurbannya sehingga membungkus badan Dewata Cengkar, dan menendangnya hingga terjebur di laut selatan. Tiba-tiba saja tubuh Dewata Cengkar berubah menjadi buaya putih. “Karena engkau suka memakan daging manusia, maka engkau pantas menjadi buaya, dan tempat yang tepat untuk seekor buaya adalah di laut” demikian kata Aji Saka.

Sejak saat itu, Kerajaan Medhangkamulan dipimpin oleh Aji Saka. Seorng raja yang arif dan bijaksana. Tiba-tiba Aji Saka teringat akan pusaka saktinya, dan menyuruh Dora untuk mengambilnya. Namun Sembada tidak mau memberikan pusaka itu, karena teringat pesan Aji Saka. Maka terjadilah pertarungan yang hebar diantara Dora dan Sembada. Karena memiliki ilmu dan kesaktian yang seimbang, maka meninggallah Dora dan Sembada secara bersamaan.

Aji Saka yang teringat akan pesannya kepada Sembada, segera menyusul. Namun terlambat, karena sesampai di sana, kedua abdinya yang sangat setia itu sudah meninggal dunia. Untuk mengenang keduanya, maka Aji Saka mengabadikannya­ dalam sebuah Aksara / huruf yang bunyi dan tulisannya :

gambar aksara jawa
Ha Na Ca Ra Ka (ono utusan = ada utusan)

Da Ta Sa Wa La (padha kekerengan = saling berkelahi)

Pa Da Ja Ya Nya (padha digdayane = sama-sama saktinya)

Ma Ga Ba Tha Nga (padha nyunggi bathange = saling berpangku saat meninggal

Filosofi Tokoh Semar




Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual. Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa.
Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) disebut Badranaya
Bebadra = Membangun sarana dari dasar
Naya = Nayaka = Utusan mangrasul
Artinya : Mengemban sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia
Javanologi : Semar = Haseming samar-samar
Harafiah : Sang Penuntun Makna Kehidupan
Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangankirinya kebelakang. Maknanya : "Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tunggal". Sedang tangan kirinya bermakna "berserah total dan mutlak serta sekaligus simbol keilmuan yang netral namun simpatik".


Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel / (karang = gersang) dempel =keteguhan jiwa.
Rambut semar "kuncung" (jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan : akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan. Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi.
Semar barjalan menghadap keatas maknanya : "dalam perjalanan anak manusiaperwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq ), yang maha pengasih serta penyayang umat".Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia), agar memayuhayuning bawono : menegakan keadilan dan kebenaran di bumi.


Ciri sosok semar adalah
  1. Semar berkuncung seperti kanak kanak,namun juga berwajah sangat tua
  2. Semar tertawannya selalu diakhiri nada tangisan
  3. Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa
  4. Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok
  5. Semar tak pernah menyuruh namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya
Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhanyang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknyakebudayaan Hindu, Budha dan Islam di tanah Jawa.
Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas, dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa.


Semar (pralambang ngelmu gaib) - kasampurnaning pati.Gambar kaligrafi jawa tersebut bermakna :Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan Mardikaartinya "merdekanya jiwa dan sukma", maksudnya dalam keadaan tidak dijajah olehhawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ingkadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu) artinya : "dalam mengujibudi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkanhawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup".

TEMBANG jOWO


Urut-urutane tembang Jawa iku padha karo lelakoning manungsa saka mulai bayi abang nganti tumekaning pati. Mungguh kaya mangkene urut-urutane tembang kaya kang tak aturake ing ngisor iki:
Maskumambang
Gambarake jabang bayi sing isih ono kandhutane ibune, sing durung kawruhan lanang utawa wadhon, Mas ateges durung weruh lanang utawa wadhon, kumambang ateges uripe ngambang nyang kandhutane ibune.
Mijilateges wis lair lan jelas priya utawa wanita.
Kinanthisaka tembung kanthi utawa tuntun kang ateges dituntun supaya bisa mlaku ngambah panguripan ing alam ndonya.
Sinomtegese kanoman, minangka kalodhangan sing paling penting kanggone remaja supaya bisa ngangsu kawruh sak akeh-akehe.
Asmaradanategese rasa tresna, tresna marang liyan ( priya lan wanita lan kosok baline ) kang kabeh mau wis dadi kodrat Ilahi.
Gambuhsaka tembung jumbuh / sarujuk kang ateges yen wis jumbuh / sarujuk njur digathukake antarane priya lan wanita sing padha nduweni rasa tresna mau, ing pangangkah supaya bisaa urip bebrayan.
DandanggulaNggambarake uripe wong kang lagi seneng-senenge, apa kang igayuh biso kasembadan. Kelakon duwe sisihan / keluarga, duwe anak, urip cukup kanggo sak kaluarga. Mula kuwi wong kang lagi bungah / bombong atine, bisa diarani lagu ndandanggula.
DurmaSaka tembung darma / weweh. Wong yen wis rumangsa kacukupan uripe, banjur tuwuh rasa welas asih marang kadang mitra liyane kang lagi nandhang kacintrakan, mula banjur tuwuhrasa kepengin darma / weweh marang sapadha - padha. Kabeh mau disengkuyung uga saka piwulange agama lan watak sosiale manungsa.
PangkurSaka tembung mungkur kang ateges nyingkiri hawa nepsu angkara murka. Kang dipikir tansah kepingin weweh marang sapadha - padha.
Megatruh
Saka tembung megat roh utawa pegat rohe / nyawane, awit wis titi wancine katimbalan marak sowan mring Sing Maha Kuwasa.
Pocung / Pucung
Yen wis dadi layon / mayit banjur dibungkus mori putih utawa dipocong sak durunge dikubur.

Selasa, 12 Februari 2008

Tahun baru saka

Sedih yen aku moco tulisan sing mbahas, menowo filsafat jowo kuwi filsafate wong kalah. Opo yo bener ngono kuwi?
Sak sejatine wong jowo kuwi dudu wong kalah, nangin wong jowo luwes marang perubahan lan pengaruh soko njobo. Iso wae diarane yen ajarane dadine gado-gado, nanging yo kuwi, sing penting sing diajarke kuwi ajaran apik kanggo kamanungsan lan marang opo wae utowo diarani "Universal".
Wis misale crito wayang, asale wayang kuwi soko ngendi coba? yo mesti wae soko India. Nanging, yo kuwi pintere wong djowo, cerito wayang ditambahi kro tokoh-tokoh jowo sing ora ono nang India, koyo to Semar, Gareng, Petruk lan Bagong. Ono Togog, Bilung, Wisanggeni, Ontoseno la kuwi kabeh lak yo tokoh-tokoh ampuh to.
Conto maneh, mbiyen tahun jowo (Saka) kuwi manut petungan Matahari (Tahun masehi), nanging karo Sultan Agung diowahi manut petungan Bulan (Koyo tahun Islam). Aku yo sempat kaget, pas ndeloki tanggalan Jepang, ternyata di Indonesia ono perayaan tahun baru saka sing ngepasi wulan Maret. Lo..... la siji suro kuwi opone tahun saka?

Selasa, 05 Februari 2008

Takdirku Dadi Wong Jowo

Yen tak pikir, dadi wong jowo kuwi yo takdirku. Aku ora keno protes marang Gusti Allah, dadi yo ditompo takdir kuwi, lan yo kudu dadi wong jowo sing njawani. Filosofi jowo kuwi adi luhung, tur yo ora ketinggalan jaman. Wis to percoyo, wong jowo kuwi hebat lan mlebu golongan bangsa besar. Ciri-cirine bangsa besar kuwi nduweni sakmubarang koyo to : bahasa, huruf, musik/gending, pakaian, unggah-ungguh, bentuk omah, kabudayan, kesusastran dll.
Saiki dicocoke karo kenyataan nang jowo coba:
Basa jowo kuwi luwih lengkap dibanding bahasa Indonesia. Basa Jowo ora basa sing miskin, anangin basa sing kaya kosa kata lan makna.
Huruf jowo kuwi yo honocoroko dotosowolo podojoyonyo mogobothongo.
Gending jowo yo nduwe dewe. Ono Pelok lan Slendro. Yen sing asli kuwi sing Slendro, diketemukan jamannya Raja Sailendra. Wah yen aku krungu gending slendro, kelingan musik klasik, iso hanyut tur yo mbentuk sikap lan perilaku. Opo meneh yen ngerti artine jeneng-jeneng gending, wah jan sugih makna, misale : Asmorondrono (Lagi jatuh cinta), Mas Kumambang (Seneng tur mulyo), Megatruh (patah hati atau Sedih ditinggal mati) , Durmo (perang tanding utowo pas nesu), Pucung (gawe lucu-lucu) lan sakpnunggalane, tunggu wae mengko tak bahas wis. pokok bukak terus blog ku, ojo lali.
Pakaian jowo yo endah banget, omah jowo bentuke kas kabudayan koyo tari-tarian, wah eram banget lah. Filsafat Jowo, okeh. Mikul Duwur Mendem jero, sing biso rumongso ojo rumongso biso, golekono kuntul mabur, golekono galihe kangkung, golekono rosing bumbung wongwang lansakpanunggalane, wis mengko tak bahas yo.

Pendahuluan

Upacara Sedekah Bumi Desa Candirejo

Upacara Sedekah Bumi merupakan salah satu upacara adat berupa prosesi seserahan hasil bumi dari masyarakat kepada alam. Upacara ini biasanya ditandai dengan pesta rakyat yang diadakan di balai desa atau di lahan pertanian maupun tempat-tempat yang dianggap sakral oleh masyarakat. Upacara ini sudah berlangsung turun termurun dari nenek moyang kita, dan berkembang di Pulau Jawa, terutama di wilayah yang kuat akan budaya agraris.

Definisi

Upacara Sedekah Bumi
Sedekah Bumi adalah salah satu upacara tradisional untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Sang Pencipta. Upacara ini masih banyak kita jumpai pada masyarakat di daerah pedesaan, yang kehidupannya ditopang dari sektor pertanian. Upacara Sedekah Bumi ini menjadi sarana ucapan terima kasih warga setempat kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia yang diberikan. Seluruh penduduk berkumpul dengan penuh suka cita untuk mengungkapkan rasa terima kasih mereka melalui berbagai kegiatan ritual keagamaan dan pesta rakyat. Bagi masyarakat Jawa khususnya para kaum petani, tradisi sedekah bumi bukan sekedar rutinitas atau ritual yang sifatnya tahunan. Akan tetapi, tradisi sedekah bumi mempunyai makna yang mendalam. Selain mengajarkan rasa syukur, tradisi sedekah bumi juga mengajarkan pada kita bahwa manusia harus hidup harmonis dengan alam semesta.

Karateristik

Bercocok Tanam
Pada tradisi Sedekah Bumi, hampir seluruh elemen masyarakat yang ada di dalamnya terlibat dalam merayakan Sedekah Bumi. Prosesi dimulai dari para tetua adat daerah, para petani hingga warga biasa juga ikut merayakan ritual tersebut. Seluruh elemen masyarakat tumpah ruah berkumpul di suatu tempat untuk merayakan upaca. Ratusan warga berkumpul untuk bersama-sama menikmati nasi dan lauk-pauk yang mereka siapkan. Ciri khas yang paling menonjol dari pelaksanaan ritual Sedekah Bumi adalah adanya ritual keagamaan yang dipimpin oleh pemuka agama setempat dan adanya pesta rakyat yang diikuti oleh seluruh anggota masyarakat. Yang menarik dari ritual Sedekah Bumi ini adalah adanya seserahan yang disumbangkan oleh setiap warga. Sebagai salah satu ucapan terima kasih warga kepada Sang Pencipta, setiap warga akan menyumbangkan beberapa hasil bumi yang mereka dapatkan dalam setahun untuk disumbangkan pada acara Sedekah Bumi. Seluruh seserahan yang dikumpulkan pada akhirnya juga akan dinikmati bersama oleh seluruh warga desa.

Prosesi


Upacara Sedekah Bumi diselenggarakan menjelang musim tanam dan pada akhir musim tanam. Upacara Sedekah Bumi diselenggarakan di sawah demplot yaitu sawah percontohan milik perorangan yang dikelola secara bersama-sama.Tidak semua desa memiliki sawah demplot. Apabila di suatu desa yang akan menyelenggarakan upacara Sedekah Bumi tidak memiliki sawah demplot, maka upacara Sedekah Bumi diselenggarakan di sawah yang letaknya strategis misalnya di pinggir jalan, di sawah yang pematangnya luas, atau sawah dengan hasil panen yang baik. Tempat lain yang digunakan adalah pendopo desa yaitu tempat dilaksanakannya keramaian berupa pertunjukan wayang kulit purwa. Pertunjukan wayang kulit purwa ini sebagai isyarat atau pengumuman kalau sudah waktunya para petani bersiap-siap untuk mengerjakan sawahnya masing-masing. Kali ini, kita akan mempelajari upacara sedekah Bumi yang dilaksanakan di Dusun Kerekan Desa Candirejo. Setelah masyarakat berkumpul, prosesi dimulai dari satu tempat yang sudah ditentukan. Dipimpin oleh pemuka agama, mereka berjalan beriringan menuju puncak Gunung Menoreh tempat dimana acara puncak prosesi sedekah bumi akan dilaksanakan.

Prosesi

Sedekah Bumi Desa Candirejo
Puncak prosesi ini dilaksanakan tepat di depan dua pohon yang dianggap sakral oleh masyarakat setempat. Di depan dua pohon ini dilakukan ritual keagamaan yang dipimpin oleh pemuka agama setempat.
Tempat yang biasa menjadi pusat dari Ritual Sedekah Bumi adalah tempat-tempat sakral dan pendopo desa. Biasanya setelah melakukan doa di di tempat-tempat yang dianggap sakral oleh penduduk desa maka selanjutnya seluruh penduduk desa secara bersama dan berbondong-bondong akan menuju pendopo desa atau atau alun-alun desa untuk merayakan pesta rakyat yang sudah direncanakan. Seluruh warga berkumpul untuk menikmati acara pesta rakyat sambil menikmati sesaji yang telah mereka bawa dan kumpulkan sebelumnya.

Prosesi

Upacara adat Sedekah Bumi yang dilaksanakan pada desa Candirejo sendiri dibuka dengan acara Srakalan, pembacaan kidung yang dilakukan oleh pemuka adat. Kemudian acara berikutnya adalah ritual pembacaan doa yang dilakukan di depan dua pohon yang dianggap sakral oleh masyarakat setempat sebagai simbol bahwa mereka mencintai tanah sebagai tempat kehidupan sekaligus juga sebagai ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta yang telah menganugerahkan tanah yang subur. menjelang siang, acara dilanjutkan dengan arak-arakan yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat.
Arak-arakan ini sendiri berfungsi sebagai ajang pesta rakyat di mana segala lapisan masyarakat ikut berpartisipasi dengan berbagai pertunjukan kesenian yang beragam. Dan seperti lazimnya sebuah pesta rakyat, maka segala jenis pertunjukan kesenian ditampilkan di sini oleh rakyat dan untuk rakyat. Kemudian, pada pagi berikutnya barulah dilaksanakan upacara ruwatan sebagai acara inti sekaligus juga sebagai penutup dari seluruh rangkaian upacara Sedekah Bumi.

Prosesi

Penjelasan Tokoh Adat Desa Ngadirejo
Latar belakang diselenggarakannya upacara Sedekah Bumi antara lain adalah, ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan harapan para petani agar hasil tani pada masa tanam yang akan datang dapat mendapatkan panen yang lebih baik. Ritual sedekah bumi yang sudah menjadi rutinitas bagi masyarakat Jawa ini merupakan salah satu jalan dan sebagai simbol penghormatan manusia terhadap tanah yang menjadi sumber kehidupan. Menurut cerita dari para nenek moyang orang Jawa dahulu, tanah itu merupakan pahlawan yang sangat besar bagi kehidupan manusia di muka bumi. Maka dari itu tanah harus diberi penghargaan yang layak dan besar. Ritual sedekah bumi inilah yang menurut mereka sebagai salah satu simbol yang paling dominan bagi masyarakat Jawa khususnya para petani untuk menunjukan rasa cinta kasih sayang dan sebagai penghargaan manusia atas bumi yang telah memberi kehidupan bagi manusia. Sehingga dengan begitu maka tanah yang dipijak tidak akan pernah marah seperti tanah longsor dan banjir dan bisa bersahabat bersandingan dengan masyarakat yang menempatinya.

Penutup

Sikap yang perlu ditanamkan pada generasi muda terhadap nilai budaya tersebut
Sebagai generasi yang mewarisi kebudayaan ini, kita hendaknya melestarikan tradisi luhur ini. Tradisi sedekah bumi menyimpan nilai moral antara lain rasa syukur, hidup harmoni dengan alam dan kebanggan terhadap budaya bangsa. Sebagai generasi penerus hendaknya kita terus memelihara keberadaan tradisi Sedekah Bumi agar kebudayaan ini tetap terlestarikan keberadaannya. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut yang disesuaikan dengan kepercayaan masing-masing

Penutup

Kepustakaan Gambar :
http://afif1.files.wordpress.com/2014/03/sedekah-bumi.jpg
Images.detik.com/customthumb/2013/07/02/img_20120702072739_4ff0eafb05a1e.jpg?w=600 Danauranaublog.files.wordpress.com/2014/03/5341549916_e97cfeb898.jpg?w=800

Kepustakaan Video :
Video Kebudayaan Pustekom

Kepustakaan Materi :
http://nihayachedta.blogspot.com/
http://giatmenulis.wordpress.com/hasil-penelitian-2/upacara-sedekah-bumi/
Video Kebudayaan Pustekom

Monday 14 January 2013

PARAMASASTRA



A. Tembung Lingga lan Andahan
Têmbung Linggå
Inggíh punika têmbung íngkang dèrèng éwah sakíng aslinipún: tulis, turu, tuku.
Têmbung Andahan
Inggíh punika têmbung íngkang sampún éwah sakíng lingganipún:
- tulis dados nulisi,
- turu dados nurokaken,
- tuku dados daktukoni.
Têmbung lingga sagêd éwah dados têmbung andhahan, sabab:
1. angsal wéwahan:
a. dipun wéwahi ing sangajenging tembung wéwahan,
wéwahan sangajêng têmbung naminipun Atêr atêr: m, n, ny, dak, ko di, ké, sa, pa, pi, pra, kuma, kapi, kami
b. dipun wéwahi ing sawingkingipun têmbung,
wéwahan sawingkinging têmbung naminipun Pênambang: ku, mu, é, èn, an, i, aké, a, na, ana, né.
c. angsal sêsêlan: in, um,
jupuk – jinupuk, gantung – gumantung.
2. dipun rangkêp:
a. sadaya: watuk – watuk, bola –bali
b. ngajêng: têtuku, papadha, paparing,
c. wingking: cêngèngès, cekikik
3. dipun campur (cambor) kaliyan têmbung sanès:
baya – pakéwuh.
4. dipun cêkak (wantah) : dhuwit – dhit, bocah—cah
B. Bab Rimbag (Kedadosanipun Tembung)
Rimbag jinisipûn kathah sangêt.
1. Rimbag Tanduk:
punika têmbúng ingkang angsal atêr atêr anuswara (suwara irung): m, ng, n, ny.
Rimbag Tanduk wonten 3 warni:

a. Tandúk Kriya Wantah: balang – mbalang, gambar – nggambar.
b. Tandúk i kriya: jalúk – njaluki, tulis – nulisi
c. Tandúk ké kriya: tuku – nukokaké, sapu – nyapokaké.
Cathetan:
tuku – nuku,
sapu – nyapu
Mênawi aksara wiwitaning têmbung dados sêtunggal kaliyan atér atêr anuswara dipun wastani luluh.
Caranipun Ngudhal Têmbúng:
Nyaponi : Lingganipun sapu, angsal ater rater : ny, angsal
panambang: i, rimbagipun: tanduk i kriya.
2. Rimbag tanggap:
Tembung Lingga ingkang ater ater tripurusa (dak, ko, di), ater ater ka lan seselan in,
Rimbag tanggap kapérang dados 6 warni:
a. tanggap utama purusa tiyang (kapisan)
- tanggap utama purusa wantah: dak jaluk, dak tulis.
- tanggap utama i kriya: dak tukoni, dak pangani
- tanggap utama purusa ké kriya : dak gambaraké, dak lungguhaké
b. tanggap madyama purusa (tiyang nomer 2)
- tanggap madyama purusa wantah: kojaluk, kotulis
- tanggap madyama purusa i kriya: kotukoni, kopangani
- tanggap madyama purusa ké kriya: kogambaraké, kolungguhaké
c. tanggap pratama purusa (tiyang nomer 3)
- tanggap pratama purusa wantah : njaluk, ditulis
- tanggap pratama purusa “i” kriya: ditukoni, dipangani
- tanggap pratama purusa “ké” kriya: digambaraké, dilungguhaké
d. tanggap ka: ater ater ka = di
- tanggap ka wantah: kajaluk, katulis
- tanggap ka “i” kriya: kajalukan = dijaluki – katanduran – ditanduri
- tanggap ka “ké” kriya: kajalukaké, katulisaké
e. tanggap na, wujudipun seselan in, tegesipun = di
- tanggap na wantah: jinaluk, tinulis
- tanggap na “i” kriya: jinalukan = dijaluk, tinulisan = ditulisi
f.  tanggap tarung, tegesipun: pada déné, tulung – tinulung, obong tingobong.
Cathetan:
Panambang “i” wonten ing tanggpan “ka” lan tanggap “na” éwah dados “an”
3. Rimbag Bawa:
Rimbag bawa inggih punika tembung lingga ingkang angsal ater ater: “ké”, “a”, “ma”,  “kuma”, “kapi”, lan seselan “um”.
a. bawa “ka”, wujudipun ater ater “ké”, ateges mboten jarag.
- bawa “ka” wantah: kacemplung, kobong saking obong.
- bawa “ka” wisésana: kacemplungan, kobongan.
b. bawa “ha”, wujudipun ater ater “a” lan ater ater “ma”
akalung, akembang, asikil tegesipun nganggo/duwé.
Maguru tegesipun golèk ilmu marang.
c. bawa “ma”, wujudipun seselan “um”: gumantung, gumagus,  dumunung, kumenthus.
d. bawa “kuma”, “kami”, “kapi”, ateges: sing : kumawani, kamigilan,  kapi-lara.
e. bawa “ma” tundha, ateges tansah : turun temurun, gulung gemulung.
Cathetan:
tembung madukun, maguru, asring dipun anggep bawa “ma” dupèh ater ateripun “ma”, punika mboten leres, leresipun bawa “ha”.
Kedah dipun bèntènaken antawisipun tembung:
- ko-obong = tanggap madyama wantah
- ke-obong (kobong) = bawa “ka” wantah
- ka-obong = tanggap “ka” wantah
4. Sananta.
Sananta pandapukipun: dak + tanduk + …. “i” ke  dak, ingkang ateges arep.
a. sananta dak wantah: dak-njaluk = aku arep njaluk.
b. santana dak “i” kriya: dak-njaluki = aku arep njaluki.
c. santana dak “ké” kriya: dak-nukokaké = aku arep nukokaké.
d. wonten malih sananta dak lan di ingkang ateges arep.
sing: dak sregep, dak meneng, ditaberi, diprayitna.
5. Tandang.
Tandang pandapukanipun: dak + lingga “é” (ané) “né” panambang “é” (ané) “né” ateges arep.
a. tandang dak wantah: dak jupuké = arep dak jupuk.
b. tandang “i” kriya: dak jupukané = arep dak jupuki.
c. tandang “ké” kriya: dak jupukné = arep dak jupukaké.
Cathetan:
Sananta lan tandang nggadahi teges arep.
Sananta asalipun saking ukara tanduk manawi tandang saking ukara tanggap,
Tuladha:
Aku arep nulis layang dhisik – aku dak nulis layang dhisik.
Layangé arep dak tulis dhisik – layang dak tulisé dhisik.
Wonten ing tandang “é” wantah dados “é”
Wonten ing tandang “i” wantah dados “ané”
Wonten ing tandang “aké” wantah dados “né”
6. Sambawa.
Tembung sambawa nggadahi teges: sanajan, pengarep arep.
Upama.
Panambangipun “a”, “ana”, “na”.
Sambawa kapérang:
1. Sambawa saking tanduk:
a. Sambawa tanduk wantah: nggawa, conto: lan tegesipun,
- nggawa dhuwit arep dienggo apa wong ora ana  wong dodol = sanjan.
- mbakyu mbok nggawa lading ya, kena dienggo ngoncèki tebu = ngarep arep.
- ah, mau nggawaa wacan kena kanggo sambèn ora ndlongop ngéné iki = sanjan.
b. Sambawa tanduk “i” kriya: njalukana.
c. Sambawa tanduk “ké” kriya: njalukna.
2. Sambawa saking tanggap:
a. Sambawa tanggap wantah : dakgawaa, kogawaa, digawaa.
b. Sambawa tanggap “i” kriya: dak gawanana, kogawakna, digawanana.
c. Sambawa tanggap “ké” kriya: dakgawakna, kogawakna, digawana.
Cathetan:
1. Wantah panambang “a”
2. “i” kriya panambang “i” malih dados “ana”
3. “ké” kriya panambang “aké” malih dados “na”
7. Pakon – Préntah.
Rimbag Pakon kapérang:
1. Pakon tanduk:
a. Pakon tanduk wantah: nggawaa = akon nggawa.
b. Pakon tanduk “i” kriya: nggawanana = akon nggawani.
c. Pakon tanduk “ké” kriya: nggawakna = akon nggawakaké.
2. Pakon tanggap “ya” pandapukipun: lingga + “é” (an) “na”.
a. Pakon tanggap wantah: gawanen= akon supaya kogawa.
b. Pakon tanggap “i” kriya: gawanana = akon supaya kogawani.
c. Pakon tanggap “ké” kriya: gawakna = akon supaya kogawakaké.
Cathetan:
Wonten ing pakon tanduk:
1. Wantah, panambangipun “a”
2. “i” kriya, panambangipun “i”, malih dados “ana”
3. “ké” kriya, panambangipun “aké”, malih dados “na”.
Pandapukipun Sambawa tanduk sami sami kaliyan pakon tanduk, pramila kedah dipun èngeti tegesipun wonten ing ukara.
Upaminipun :
- ngGawaa dhuwit wong barangé wis entèk = Sambawa (dudu pakon).
- sésuk kowé nggawaa buku (pakon).
8. Guna:
Guna inggih tembung tembung ingkang angsal panambang “en” nggadahi teges nandang, saking lingganipun.
- wudunen, gudigen, singunen.
Kedah dipun bèntenaken tembung tembung: jupuken, panganen (pakon tanggap)
wantah, koroken, duduken = guna.
9. Adiguna:
Pandapukipun: “ke” + lingga + “en”, ateges leluwihan:
kedhuwuren, kebangeten, kabangen.
Bèntenipun: tembung tembung: kecemplung, kecipratan
= wisésa bawa ka.
- kegedhèn, kepinteran = adiguna.

10. Bawa  – Wacaka:
Pandapukipun “ka” + lingga + “an”, ateges: nedahaken panggènan utawi ndapuk tembung aran.
Bawa wacaka mboten ateges ndapuk tembung kriya.
- Kalurahan = panggènan, kabupatèn = panggènan.
- Kausikan = tembang aran, kasugihan = tembung aran
Tembung tembung punika kedah dipun bèntenaken.
- kajalukan = dijaluki, tanggap “i” kriya
- kapinteran = bawa wacaka.
- kecemplungan = wisésana bawa “ka”.
11. Daya Wacaka:
Pandapukipun: “pa” + lingga + “an”, ateges panggènan utawi mangsa:
- pasuketan, pakuburan, panèn, padusan.
12. Kriya – Wacaka / Karana Wacana.
Pandapukipun : “pe” + tanduk + (“pe + tanduk + “an”)
- penulis = tukang nulis, karana wacaka
- penulisé = carané nulis, karana wacaka
Bèntenipun daya wacaka kaliyan karana wacaka:
daya wacaka saking tembung aran.
karana wacaka saking tembung kriya.
Kedah dipun bèntenaken tembung:
gorèngan = olèh olèhané nggorèng, kaliyan tembung:
penggorèngan = papan kanggo nggorèng.
13. Tembung Rangkep:
Tembung rangkep inggih punika tembung ingkang dipun ungelaken ambal kaping kalih.
Tembung rangkep wonten 3 warni:
1. Dwilingga: lingganipun dipun rangkep.
a. dwilingga wutuh: bocah bocah, réka réka.
b. dwilingga salin swara ngarep: dhuwat – dhuwit.
c. dwilingga salin swara mburi: jarèn jérèn, téla télé.
d. dwilingga salin swara kabèh: modhang mèdhèng, gonjang ganjing.
2. Dwipurwa: wanda ingkang wiwitan dipun rangkep: jejaka,  tetuwuhan.
3. Dwiwasana: wanda ingkang wekasan dipun rangkep: cengèngèsan, cekakaan.
14. Tembung Jamboran (Majemuk).
Tembung jamboran, tembung kalih utawi langkung ingkang dipun  gandhèng dados satunggal.
1. Jamboran wutuh.
Jamboran wutuh wonten 3 golongan:
a. ingkang tegesipun sadrajad: gedhé cilik, boya pakéwuh.
b. tembung ingkang kaping kalih dados katranganipun tembung ing kapisan: kandhang jaran, jambu wer.
c. tembung ingkang kapisan dados katranganipun tembung ingkang kaping kalih: brata yuda, wijaya kusuma.
2. Jamboran tugel: wancahan.
Jamboran tugel tembung kalih ingkang dipun cekak:
- kakkong, dhekwur, kongèl.
Cathetan:
Kedah dipun bèntenaken antawisipun jamboran tugel kalayan kérata basa.
- kakkong: asalipun saking tungkak bokong.
- dhélik: asalipun saking tembung gedhé cilik.
Jamboran tugel asalipun saking kalih tembung.
Manawi kérata basa asalipun pancèn satembung lajeng
dipun othak athik supados mathuk.
- tembung tebu, dipun othak athik dados manteb ing kalbu.
- tembung kathok, dipun othak athik dados ngangkaté saka sithok.

Tembung Wancah.
Tembung wancah tembung ingkang dipun cekak.
Warni warnining tembung ingkang dipun wancah:
1. Namanipun laré/tiyang sepuh:
- Mulyana dados Mul utawi Yan.
- Sutana dados Tana utawi Ton.
- Suminah dados Minah utawi Min.
- Pawirareja dados Pawira
- Wangsadimeja dados Sadimeja.
2. Namanipun panggènan:
- Kartasura dados Tasura.
- Imogiri dados Mogiri.
- Boyolali dados Yolali.
3. Wicalan (etungan):
- ji, ro, lu, pat, ma, nem, tu, lu, nga, luh.
4. Tembung krama kawancah dados madya krama.
- punika dados nika.
- mangga dados ngga.
- dhateng dados teng.
5. Tembung jamboran (Jamboran tugel).
- gedhé cilik dados dhélik.
- endhèk lemu dados dhèkmu.
- gedhé bagus dados dhégus.
C. Ater ater, panambang, seselan lan tegesipun.
Wisésana inggih punika tembung tembung ingkang angsal panambang “an”.
01. Entan éntan kados : gunungan, pasaran, kalèn.
02. Pirantos kanggé : kukusan, garisan, ayakan.
03. Angsal angsalipun : gorèngan, batikan, gawéyan.
04. Mangsa : panèn, padusan, suntikan.
05. Gampil : mutungan, kalahan, getasan.
06. Sami déné nglampahi : salaman, biten guyon.
07. Dolanan : jaranan, pasaran, tangisan.
08. Nganggé : bebedan, sabukan, kelambèn.
09. Nanggap : wayangan, réyogan.
Tegesipun Ater ater Anuswara:
01. Nyambut damel : jenu, macul, medhang.
02. Nganggep : mbapa, ngadi, mbibi.
03. Dados : mbatur, nyantrik, nyudagar, nuwani.
04. Nuju dhateng : minggir, ngulon, munggah.
05. Damel : nggulé, ngabon, nyambel.
06. Nyukani : nyadhong, makani, nyandhangi, nyamaki.
07. Kados : mbodoni, mbisu, ndésani, ngetumbar, mucuk eri.
08. Saben tiyang nampi : niji, ngloro, matang liter.
09. Nambahi : ndhuwuraké, ndawani, nggedhèni.
10. Ngetrapaken : nglambèni, napèni, nyetuti.
11. Saweg wancinipun : mbosoki, ngretegi.
Tegesipun Ater ater Sa:
01. Satunggal = sèket, sakebo, samèter.
02. Sabarang = sakarepé, sawaregé, sasenengé.
03. Nunggil = sabantal, saomah, sakamar.
04. Kalih / karo = salapaké, sauwité.
05. Sami kaliyan = sagunung, sapitik.
06. Ngantos = sabubaré, saénaké.
07. Saben = saasiné, sadinané.
08. Angger = sakoberé, saénaké.
Tegesé Ater ater Pa / Pé:
01. Srana  = pasumbang, pangudi.
02. Tukang = pangendhang, padhang, pamomong.
03. Ukuran mangsa = sapenginang.
04. Ukuran   panjang, tebih  = panjangkah, pandulu, pabalang.
05. Carané / patrapé = panulisé, panggambaré.
06. Panggènan = pakuburan, panepèn, pagadéyan.
07. Mangsa  = panèn, padusan.
08. Pirantos  = pembesut, penyakit, penulak.
09. Tiyang ingkang dipun  = paukuman, panembahan.
Seselan lan Tegesipun:
Seselan namung 4 warni: “er”, “el”, “um”, “in”.
- crekot, saking tembung cekot tegesipun pating/pijer.
- trambal, saking tembung tambal, tegesipun pating/kathah.
- dlèwèr, saking tembung dèwèr, tegesipun pating/pijer.
- sliri, saking tembung siri, tegesipun pating.
Seselan “er” lan” “el” wonten ing salebeting tembung, racakipun lajeng dados satunggal kaliyan tembung wau, saéngga lingganipun tembung wau mboten saged cetha.
Déné ingkang saged cetha lingganipun menawi kaseselan “um” lan “in”.
01. Tumandang lingganipun tandang tegesipun kriya.
02. Rumujak, lingganipun: rujak, tegesipun: nedheng nedhengipun.
03. Kumaki, lingganipun:  kaki, tegesipun: anggepé kaya.
04. Jinambak, lingganipun: jambak, tegesipun: di ………….
05. Tinulis, lingganipun: tulis, tegesipun: di …………
Menawi aksara wiwitan tembung wonten “w”, “p’, “b”, lajeng éwah dados “k” utawi   “g”.
- ayu – kumayu, tegesipun: anggènipun kados …….
- emping – kumemping, tegesipun: saweg eca ecanipun dipun ……
- wasis – kumasis, tegesipun: kados tiyang …….
- pinter – kuminter, tegesipun: kados tiyang ……
- bagus – gumagus, tegesipun: kados tiyang ……
Tegesipun Tembung Dwi Lingga.
01. Naminipun barang : orong orong, alap alap, nget nget.
02. Nglampahi padamelan : omah omah, udan udan.
03. Kathah : gedhé gedhé, jembar jembar, omah omah.
04. Sanget : asin asin, seru seru, gedhé gedhé.
05. Tansah : lali lali, ora ngerti ngerti.
06. Sanajan : alon alon, empuk empuk, anggeré.
07. Mangsa / wanci : bedhug bedhug, soré soré.
08. Saepolipun : dawa dawané, murah murahé.
09. Boten susah : ora isan isin, ora rikah rikuh.
Tegesipun Tembung Tembung Dwipurwa / Dwiwasana.
01. Boten tentu barangipun : tetuku, lelara, gegaman.
02. Nganggé/damel : gegriya.
03. Murugaken : pepeteng, bebungah, lelethek.
04. Pating : cengèngèsan, cekakaan.
Bab II – Ukara Lan Pangudhalipun.
Ingkang dipun wastani ukara inggih punika rerangkèning tembung sawatawis ingkang saged mujudaken / nglahiraken gagasanipun tiyang.
A. Péranganipun ukara:
Ukara kedadosan saking pérangan ingkang baken, jejer lan wasésa.
Supados ukara kala wau saged sampurna tegesipun, asring ukara punika dipun wéwahi.
katrangan.
Warni warnining katrangan :
a. Katrangan lésan kang nandang (pelengkap penderita).
b. Katrangan lésan kang pinarih (pelengkap penyerta).
c. Katrangan lésan kang tumindak (pelengkap pelaku).
d. Katrangan mangsa: wis, lagi, arep, kapan, dhèk wingi.
e. Katrangan panggènan: ing kono, ngomah, ing pasar.
f. Katrangan kaanan (kawontenan): kanggé nerangaken wasésanipun – banget, cetha, kepénak.
Tulada Ngudhal Ukara Miturut Kalinggihanipun (Kalungguhané).
a. Kucing iku | mangan | tikus |
1                      2           3
1. jejer, 2. wasésa, 3. lésan kang nandang
b. Simbok | nukokaké | layangan | adiku |
1                   2                  3               4
1. jejer, 2. wasésa, 3. lésan kang nandang, 4. lésan kang tumindak
c. Aku | diwènèhi | dhuwit | mbakyu |
1           2                  3                4
1. jejer, 2. wasésa, 3. lésan kang nandang, 4. lésan kang tumindak
d. Suk embèn | bapak | arep | mundhutaké | klambi | aku | menyang Sala |

1                   2           3                   4                    5            6                  7
1. katrangan mangsa, 2. jejer, 3. katrangan mangsa, 4. wasésa, 5. lésan kang nandang, 6. lésan kang pinurih, 7. katrangan  panggonan
e. Gunung iku | dhuwur | banget |
1                  2                3
1. jejer, 2. wasésa, 3. katrangan kahanan
f. Si Ali | mangané | ademenakaké |
1             2                     3
1. jejer, 2. wasésa, 3. ktrangan wasésa
g. Omahé | bapak | arep | didol | suk embèn |
1            2             3          4              5
  1. jejer, 2. katrangan jejer, 3. katrangan mangsa, 4. wasésa, 5. katrangan mangsa.
h. Sayak | abang kaé | reged | banget |
1                2                 3              4
1. sayak, 2. katrangan jejer, 3. wasésa, 4. katrangan kahanan
B. Warni warnining Ukara.

Miturut Pandapukipun, Ukara, wonten:
1. Ukara genep (ukara lamba).
2. Ukara boten genep (ukara gothang).
3. Ukara rangkep (ukara majemuk).
1. Ukara ganep sakedhikipun kedah wonten jejer lan wasésanipun, sok ugi wonten katranganipun.
Tuladha:
- Saidi mlaku
- Bocah nakal kaé dolan mrénê.
2. Ukara boten ganep (ukara gothang) kapérang:
a. gothang jejeripun.
- rénéya sedhéla baé !
- Tukokna rokok !
b. gothang wasésanipun:
- Sajaké Simin !
- Dudu Adiku !
c. gothang jejer lan wasésanipun:
- Kala wingi !
- isih loro !
- Ora !
3. Ukara rangkep inggih punika ukara ingkang panjang kadadosan saking kalih ukara lamba utawi langkung. Ukara rangkep kapérang malih:

a. Ukara rangkep sadrajad, Tuladha:
- Aku nulis, adiku maca buku, simbok olah olah,
- Wong iku gemi, mulané dadi sugih.
- Sepisan dhèwèké sregep, ping pindhoné pancèn pinter.

b. Ukara rangkep raketan. Tuladha:
- Simbok menyang pasar, déné aku kon tunggu warung.
- Siman mbèlèh pitik, adiné mbubuti, simbok kang ngolah.
- Dhèk wingi pité isih ditunggangi, dhèk mau wis dicolong uwong.
c. Ukara rangkep tundha.
Wonten ing salebeting ukara tundha wonten baboning ukara, inggih punika ukara ingkang dados undheraning gineman lan wonten gatranipun (anak kalimat).
Gatra wonten pinten – pinten warni:
a. gatra jejer:
ukara ukara ingkang dados gegentosing jejer,
Guruku .. .. , ndukani aku (ukara lamba).
Wong kang mulang | aku | ndukani aku |
1                          2              3
1. gatra jejer, 2. wasésa, 3. lésan kang nandang
b. gatra wasésa:
ukara ingkang dados gegentosing wasésa.
Panjaluké .. .. , dituruti (ukara lamba).
Panjaluké | aku sregep sinau |
1                      2
1. jejer,     | 2. gatra wasésa   |
c. gatra lésan:
ukara ingkang dados gegentosing lésan.
Aku ngleksanani panjaluké (ukara lamba).
Aku ngleksanani | apa | kang dikarepaké |
1                      2                    3
1. jejer, 2. wasésa, 3. gatra lésan
d. gatra katrangan:
ukara ingkang dados gegentosing katrangan.
Simin arep mulih sésuk (ukara lamba).
Simin arep mulih | menawa aku | wis bali saka Sala
1                            2                          3
1. jejer, 2. wasésa, 3. gatra katrangan
Caranipun Ngudhal:
Simin arep mulih, menawa aku wis bali saka Sala.
Simin  = jejer
arep mulih = wasésa
arep  = katrangan mangsa
menawa aku bali saka Sala = gatra katrangan
menawa  = katrangan sarat
aku  = jejer gatra katrangan
wis  = katrangan wektu (wekdal) gatra katrangan
bali  = wasésa
saka Sala = katrangan panggènan gatra katrangan.
II. Ukara Miturut Suraosipun.
Miturut suraosipun ukara kapérang:
a. ukara carios (carita)
b. ukara pitakèn
c. ukara pakèn (pakon)
d. ukara pangajak
e. ukara panjaluk (panedha)
f. ukara pangajeng ajeng (pangarep arep)
g. ukara prajanji
h. ukara upami (umpama)
Déné tuladanipun supados damel piyambak.
III. Ukara Miturut Kawontenanipun Jejer Wasésa lan Lésan.
Ukara Kapérang:
a. Ukara tanduk (kalimat aktif).
Tetengeripun ukara tanduk menawi wasésanipun angsal ater ater  anuswara lan jejeripun nindakaké wasésa.
- Simin mangan
- Ali nggambar.
b. Ukara tanggap (kalimat pasif).
Tetengeripun ukara tanggap wasésanipun angsal ater ater:
“dak”,  “ko”, “di”, “ko”, lan seselan “in”.
Déné jejeripun nandang wasésanipun.
- Sapiné wis diedol
- Dhuwité arep dakjaluk.

c. Ukara nominal.
Ukara nominal inggih punika ukara ingkang wasésanipun sanès tembung kriya, nanging tembung: aran, wilangan, kaanan.
- Gunung iku dhuwur
- Pitikku putih mulus
- klambiku nem iji, lan sapanunggilanipun.
Bab III – Panyilahing Tembung (Jinising Tembung)

A. Jinising tembung kalarasaken kaliyan basa manca.

1. Tembung Kriya (Verb);
sadaya tembung ingkang nerangaken tumindak padamelan:
nulis, mucal, nyawang, lan sapanunggilanipun.
2. Tembung Aran (Substantive);
sadaya tembung ingkang mastani namaning barang ing maujud utawi ingkang dipun anggep maujud (abstrak):
buku, kursi, angin, sétan, kapinteran, ngèlmu, lan sapanunggilipun.
3. Tembung Kawontenan (kaanan = ajective);
sadaya tembung ingkang nerangaken kawontenanipun barang:
gedhê, dawa, ireng, kumaki, merdika, lan sapanunggilipun.
4. Tembung Katrangan (Adverb);
sadaya tembung ingkang nerangaken kawontenanipun kriya:
mesthi, mau, banget, mbokmenawa, lan sapanunggilipun.
5. Tembung Sesulih (pronoun):
sadaya tembung ingkang dados sesulihipun barang maujud utawi ingkang kaanggep maujud: punika kapérang dados 5 golongan:
a. Tembung Purusa (tiyang): aku, kowé, dhèwèké, anu, banget, mbokmenawa, lan sapanunggilipun.
b. Tembung Darbé: ku, mu, e,
c. Tembung Pitedhah (pitudhuh): iku, kaé, kuwi, punika.
d. Tembung Pitakèn: sapa, apa, endi, ngendi, kepriyé, lan sapanunggilipun.
e. Tembung Panggandhèg: kang, sing, ding.
6. Tembung Wicalan (wilangan : cacah) = numeral: siji, loro, sapisan, saméne, sawatara, lan sapanunggilipun.
7. Tembung Panggandhèng (conjunction):
Tembung ingkang kanggé nggandhèng ukara utawi tembung:
lan, sarta, tur, kathik, mulané, sarèhné, lan sapanunggilipun.
8. Tembung Panggenah (artikel): sing, sang, ponang, lan sapanunggilipun.
9. Tembung dunung (preposition):
Tembung ingkang nedahaken enggon/enering barang: ing, ngarep, mburi, menyang, déning, lan sapanunggilipun.
10. Tembung Panguwuh (interjection) = panyuru:
Tembung ingkang mratélakaken panguwuh / sesambat:
lo, wah, wo, adhuh, toblas, lan sapanunggilipun.
A. Tulada Ngudhal Ukara Miturut jinising Tembung.
Manawi bab ingkang kapengker ngudhal ukara miturut kalenggahaning / pangkating tembung, inggih punika madosi jejer, wasésa, lésan lan warni warnining katrangan, ing bab punika ngudhal jinising tembung inggih punika madosi tembung tembung ingkang kadadosaken saking tembung kriya, tembung aran, sesulih, wilangan lan sapanunggilipun.
Terkadhang wonten malih supados ngudhal tembung, inggih punika tembung wau dipun padosi lingganipun, ater ater, panambang, lajeng kalebet rimbag punapa.
Tuladha ukara.
Mau ésuk aku ketekanan tamu saka Sragèn.
Miturut lenggahing tembung:
aku                         = jejer
katekanan               = wasésa
tamu                       = lésan kang tumindak
mau ésuk                = katrangan mangsa
saka Sragèn            = katrangan panggonan
Miturut Jinising Tembung:
mau ésuk = tembung katrangan wayah
aku = sesulih
katekanan = kriya
tamu = tembung aran
saka = tembung dunung
Sragèn = tembung aran.
Miturut Pandapuking Tembung:
mau ésuk = tembung jamboran
aku = lingga
katekanan = lingganipun teka angsal ater ater ke lan panambang an, kalebet tanggap ka i-kriya.
tamu, saka, Sragèn = tembung lingga.
Tuladha malih :
Bocah cilik, adiné Mariyem iku, nukokaké jeruk adiku.
Miturut jinising tembung:
bocah = tembung aran
cilik = tembung kaanan
adiné = tembung aran
Mariyem = tembung aran
iku = tembung sesulih
nukokaké = tembung kriya mawa lésan
adiku = tembung aran.
Miturut Lenggahing Tembung;
bocah cilik = jejer
adiné Mariyem iku = katrangan jejer
nukokaké = wasésa
jeruk = lésan kang nandang
adiku = lésan kang pinurih.
Miturut Pandapuking Tembung:
bocah cilik = tembung jamboran
adiné Mariyem = tembung jamboran
iku = lingga
nukokaké = n + tuku + aké + tanduk ké kriya
jeruk = tembung lingga
adiku = tembung andhahan: adi + ku
adiné = tembung andhahan: adi + é.
Bab IV – Panyeratipun Basa Jawi Mawi Aksara Latin
A. Panganggènipun Aksara Ageng:
1. Kanggé nyerat irah – irahan (bab).
2. Aksara ing wiwitaning ukara.
3. Kanggé nyerat nama mandiri.
Upami: Musi, Paimin, Ciamis. pasopati, lan sapanunggilipun.
4. Cekakan, upami: ABRI.
5. Ingkang kaanggep wigatos: Ingkang Maha Wikan.
……. badhé leladi dumateng Nusa, Bangsa, lan Agama.
B. Ingkang Adaan Sanget Panyeratipun:
1. Ponorogo leresipun: Panaraga
sopunika leresipun: sapunika
Bongsa leresipun: bangsa
2. Sepélé, mréné, gègèr, kètèl, kabèh, Swanten “é” lan ‘è” kedah kaserat mawi “e” lan pratandha layar nginggilipun.
3. Kuthuk, dhuwur, kathok, kodhok
Aksara t kaserat dados “th”
Aksara d kaserat dados “dh”
4. kluwak, luwak, kuwat, kowat. Swanten “u” utawi “o” kasusul ing swanten “a” kedah mawi aksara manda.
5. sekalian, kadang kadéyan, liyané, sampéyan
Pindahipun swanten “i” utawi “é” dhateng swanten “a” mawi aksara manda swara  “y”.
Bab V – Unggah Ungguhing Basa
A. Katrangan:
Basa Jawi punika pepak sanget, ngantos tiyang manca manawi badhé nyinau basa Jawi asring rumaos kewalahan, amargi saking kathahing sinonim tembung Jawi, caranipun ngetrapaken basa antawisipun tiyang ingkang bènten umur umuranipun utawi derajatipun lan malih pancèn wonten tembung tembung Jawi ingkang ing basa sanès boten wonten utawi boten matis. Upaminipun tembung mangan: sinonimipun (dasanamanipun): maem, dahar, madhang, malah taksih kathah panganggènipun ing basa kasar.
Antawisipun laré kaliyan nèm nèman sampun boten cak – cakanipun, semanten ugi antawisipun nèm nèman kaliyan tiyang sepuh lan sapanunggilanipun. Lan malih asring wonten tembung Jawi ingkang ing basa sanès boten wonten (dèrèng dipun sumerepi) upaminipun tembung: kadingarèn, upil, karipan, maido, lan sapanunggilanipun.
Manawi dipun tingali saking pandapuking tembung, kathah sanget éwah éwahipun, margi saking pepaking ater ater (awalan), seselan sarta panambang (akhiran) punika badhé katerangaken ing wingking.
Déné unggah ungguhing basa inggih punika caranipun ngetrapaken basa dhumateng tiyang ingkang dipun ajak gineman.
B. Unggah ungguhing Basa.
1. Basa Ngoko.
Basa ngoko, kapérang:
a. Ngoko Lugu,
wujudipun tembung tembungipun ngoko sadaya.
dipun ginakaken.
1. Dhateng sesami ingkang sampun kulina.
2. Dhateng kapernah nèm (anak, putu, murid, sémah).
3. Manawi pinuju ngunandika.
4. Wonten ing buku buku karangan (wucalan).
b. Ngoko Andhap Antya Basa,
wujudipun: ngoko, krama inggil.
dipun ginakaken:
1. Dhateng tiyang ingkang langkung enèm nanging langkung inggil derajatipun.
2. Priyantun kaliyan priyantun ingkang kulina ngoko.
Tuladha:
Apa sliramu mengko sida tindak pasar mundhut bakal klambi?
c. Ngoko Andhap Basa Antya,
wujudipun: Ngoko, krama inggil dipun selingi krama.
dipun ginakaken: antya – basa.
Tuladha:
Coba panjenengan pirsani, bapak ora saéstu tindak, la kaé lagi maos buku.
2. Basa Madya:
Basa madya dipun ginakaken tiyang tiyang ingkang boten nggatosaken basa ingkang saé, racakipun tiyang padhusunan utawi paredèn lan tiyang pekenan.
Tuladha Basa Madya: nika, niku, ajeng, teng, nèk, saweg, napa, pripun, samang dika, lsp.
Basa Madya Kapérang:
a. Madya Ngoko, wujudipun ngoko, madya.
Tuladha:
Nèk dika ajeng tuku akèh mengké kula wèhké rada murah.
b. Madya – Krama,
wujudipun: Madya kaliyan krama.
Tuladha:
Dos pundi ta samang nika, sinjang saéné kados ngaten kok diwastani awon.
c. Madya Antara,
wujudipun: Madya krama, krama inggil.
dipun ginakaken:
1. Priyantun dhateng tiyang kapernah sepuh nanging mimpang drajad.
2. Garwa priyantun.
3. Priyantun kaliyan priyantun ingkang sampun kulina.
Tuladha:
Napa panjenengan ajeng ngersakaken mirsani bioskop, nèk kersa ngga kula dèrèkaken.
3. Basa Krama,
Basa Krama kapérang:
a. Kramantara,
wujudipun krama thok krama lagu.
dipun ginakaken:
1. Kanca kanca ingkang déréng kulina.
2. Wonten buku buku karangan (wucalan).
Tuladha:
Nuju satunggiling dinten pun Kancil saweg mlampah mlampah wonten sapinggiring lèpèn.
b. Muda Krama,
wujudipun: Krama lan krama inggil.
Basa Muda krama  basa ingkang saé lan alus piyambak.
Ingkang ngginakaken:
1. Tiyang nèm dhateng tiyang sepuh.
2. Murid dhateng gurunipun.
3. Priyantun kaliyan priyantun.
Tuladha:
Kula dipun dhawuhi bapak guru, supados matur kaliyan bapak, manawi bapak guru bénjing dinten Minggu badhé tindak dhateng dalemipun bapak.
c. Krama Inggil,
wujudipun: Muda krama, namung tembung: mu- dalem, aku – abdi dalem, kowé – panjenengan dalem. dipun ginakaken tumrap para luhur / ratu.
Tuladha:
Abdi dalem boten saged sowan ngarsa dalem, amargi anakipun dalem saweg sakit.
d. Wreda krama,
wujudipun: krama nanging ater ater lan panambang boten dipun kramakaken.
Tuladha:
Manawi diparengaké griyané ingkang kilèn punika kula enggènané.
“di”, “é”, “aké” boten dipun kramakaken.
e. Krama désa,
Krama désa punika basanipun mesthinipun boten wonten kramanipun kapeksa dipun kramakaken, wonten malih mesthinipun sampun dipun kramakaken margi saking kirang maremipun lajeng dipun kramakaken malih.
Tuladha:
- jaran, kramanipun kapal dados kepel.
- dhuwit, kramanipun arta dados yatra
- tuwa, kramanipun sepuh dados sepah
- belo, kramanipun dados belet
- dhelé, kramanipun dados dhekeman
- Boyolali, kramanipun dados Bajulkesupèn
4. Basa Kedhaton,
Basa kedhaton dipun ginakaken para abdi dalem kraton manawi pinuju gineman kaliyan ratu.
Tuladha:
- manira = aku
- pakènira = kowé
- enggah = inggih
- darbé = duwé
- boya = ora
- besaos = bae
5. Basa Kasar,
Basa kasar dipun anggé tiyang urakan, tiyang paben, tiyang saweg nepsu, lsp.
Pokokipun boten sekéca manawi dipun mirengaken. mila ing ngriki boten perlu dipun rembag.
Cathetan:
Andharan ing nginggil punika prasasat kantun dados téori, kirang praktis.
Mila limrahipun kaum guru namung mlètèr murid murid mawi basa krama ingkang mèh mesthi kanggénipun: Muda krama.
C. Ngulinakaken Nggladi Basa

Ngèngeti ing jaman samangké kathah para muda ingkang sampun ical tata kramanipun saha unggah ungguhipun, langkung langkung bab anggènipun ngginakaken basa krama kados kados kathah ingkang risak boten kanten kantenan.
Umpaminipun, laré nèm dhateng tiyang sepuh, murid dhateng gurunipun langkung langkung para nèm nèman dhateng para nèm nèman sanèsipun.
Racakipun anggènipun ngetrapaken basa klèntu lan ing ngrika ngriki taksih campur bawur kaliyan basa Indonesia, kamangka mesthinipun kita punika saged nglairaken gagasan utawi pikiran sarana tembung tembung basa Jawi ingkang murni.
Pramila kanggé ngudi basa ingkang saé kita saged ngulinakaken nganggé basa ingkang saé ing saben saben wekdal, wonten ing bebrayan ngagesang. Para putra nèm nèman saha ingkang taksih alit sageda dipun tuntun, dipun gladi nganggé basa ingkang saé wonten ing nggriya utawi sadéngah panggènan. Kanggé ngulinakaken para putra ing ngriki perlu dipun sukani latihan latihan sageda kanggé apalan.